tentang kisah dan jejak langkah

Test foto 1

Foto sementara

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

Selasa, 16 Mei 2017

King Arthur: Legend Of Sword (Laporan Pandangan Mata dari XXI Studio 2)


Tahu cerita Adipati Karno? Tokoh pewayangan berdarah Pandawa yang dibesarkan oleh Kurawa dan akhirnya tetap setia membela Kurawa meski harus menghadapi saudara sendiri?! Ingat kisah Nabi Musa yang selamat setelah dihanyutkan oleh ibunya di sungai Nil? Setidaknya pernah denger donk..., kemasyuran Robin Hood 'maling' baik hati pengumpul pundi-pundi plus penyelamat banyak orang yang tertidas. Legenda Raja Arthur adalah sosok Karno versi Eropa yang dibesarkan oleh dunia dan para pekerja prostitusi kemudian harus menghadapi saudara (paman) sendiri, memulai 'karir' sebagai raja yang diselamatkan hidupnya ala-ala Nabi Musa, dan beraksi membelot, melawan kelaliman serupa Robin Hood. Pendek kata King Arthur itu sejenis paket komplit nan ideal kisah sesosok manusia yang memang titisan pemimpin yang amat dicintai rakyatnya namun harus tersingkir karena ketamakan dan ambisi saudara sedarahnya.

Diawali pemandangan bunga api raksasa pada ujung menara, disusul kekacauan dan perang kolosal yang melibatkan manusia serta makhluk jadi-jadian (bagi yang belum menonton jangan lantas membayangkan makhluk jadian ala dalam negeri sejenis gerandong atau genderuwo 😝) Makhluk jadian itu dicipta dengan spesial efek canggih, sekaligus ajaibnya meski begitu mengerikan jika benar-benar nyata, maka dalam film hanya disikapi dengan ketakutan sewajarnya oleh orang-orang Eropa (Inggris dalam cerita). Dahi saya sempat mengernyit menyaksikan suasana yang bagi saya sedikit aneh mengingat sebagai orang Indonesia, saya terbiasa dihadapkan pada suasana yang sebenarnya biasa namun disikapi agak luar biasa oleh orang-orang di sekitar saya.  Sekadar iseng terlintas bayangan jika para figurannya adalah alayers penonton acara-acara musik di stasiun televisi swasta itu maka, "Selamat! Kehebohan film ini levelnya akan mencapai to the max, bahkan tidak menutup kemungkinan cenderung membuat jera para penontonnya untuk menyaksikan ulang." 😩

Bicara tentang unsur pembangun film kolosal yang konon paling dinantikan sepanjang 2017 ini, setting dan pemeran pembantu menjadi salah sekian kunci utama penguat cerita. Khusus dalam King Arthur: Legend of The Sword, setting tempat dan pemeran pembantu yang saya rasa sukses mencuri hati para penonton mencakup tiga hal utama; megah, indah, artistik. Megah mewakili setting negeri sengketa yang berlatar benteng super tinggi dilengkapi menara utama yang menjadi salah satu inti penguat cerita. Bayangkan, betapa di zaman baheula manusia sudah mampu menghasilkan karya megah luar biasa. Meski ini hanya film dan bergenre legenda, saya sih percaya saja manusia pada zaman itu sudah mampu membangun peradaban demikian rupa, jika masih menyangkal, sila cocokkan dengan kastil-kastil megah dari abad 14, bahkan mungkin sebelumnya yang terdapat di Eropa sana. Kedua; indah! Sungai juga lembah-lembah ala pedesaan Inggris, Irlandia, atau mungkin juga Skotlandia sanggup menyejukkan mata (entahlah tepatnya ber-setting di mana yang jelas pada bagian ini saya hanya menerka belaka, jangan kiranya pembaca mentah-mentah menelan celotehan saya yang belum pernah sekalipun menjejakkan kaki ke negeri-negeri di sana. Saya hanya menerka berdasar pengalaman 'meminjam mata' via video-video National Geographic atawa foto siapa saja tentang negeri di sana yang sudah tersebar di dunia maya 😎✌) Ketiga dan ini berkaitan dengan pemeran pembantu namun 'berporsi besar' dalam pembentuk cerita; artistik. Dari kemunculan penyihir kegelapan serupa gurita raksasa namun berbadan tiga manusia, dua di antaranya berpenampilan sangat menggoda. Tak hanya mata pria yang dimanjakan dengan kemunculannya, saya yang wanita pun tak pelak berdecak kagum dengan geliat keduanya. Saya tidak melihat ini sebagai sesuatu yang fulgar, namun lebih pada visual yang sangat artistik. Sama halnya dengan kemunculan dewi air, memesona, bahkan terlalu memesona dengan gerak slow motion-nya (entah mengapa, rasa-rasanya adegan apapun yang dibuat slow motion bagi saya berkali-kali lipat menjadi lebih menarik. Mungkin karna secara psikologis hal ini menimbulkan efek dramatis) rasa-rasanya semacam cantik namun kokoh, lembut sekaligus berkuasa. 

Beralih pada para pemerannya. Hi hallooo.. David Beckham is in the house! Bukan hal yang mengejutkan memang mengingat sosoknya adalah salah satu yang istimewa di negeri Big Ben sana. Setidaknya meski hanya muncul dalam satu scene yang durasinya tak lebih dari 2 menit, mungkin ia dianggap cukup bisa berandil menaikkan ratting film. Ya, khusus soal suami Posh Spice ini, saking sakti namanya, rasa-rasanya apapun yang disentuh akan menjadi uang. Tentunya Guy Ritchie as director plus produser ga mau rugi donk uda keluar duit banyak saat membesut salah satu cerita legenda paling TOP se-Britania Raya bahkan dunia dengan mendapuk Beckham sebagai cameonya. Kemunculan veteran MU ini tak pelak memberikan warna khusus dalam King Arthur versi 2017 dan diharapkan menjadi magnet tersendiri bagi penonton maupun calon penontonnya. Hanya saja, kok saya secara pribadi merasa Beckham di sini kurang greget ya, kurang 'setrong'. Karakternya ga terlalu dapat. Apa ekspektasi saya yang ketinggian? Dari suaranya saja terdengar agak cempreng. (Ah entahlah, mungkin ini hanya perasaan De' Hesty saja) 😃

Ok, stop! Cukup pembahasan soal salah satu hot daddy in the world itu, mari kita beralih ke Jude Law. Yes, as usual, he looks cool and handsome, ha?! Tolong, pernyataan saya kali ini jangan dilawan, lemesin aja 😂 doi bener-bener pemain watak. Masih segar dalam ingatan saya ketika si tampan yang satu ini berperan sebagai Dan, seorang penulis yang bisa dikatakan berkepribadian ganda dalam Closer (rilis 2004) Wajahnya yang inosen tapi selalu menyikapi apapun dengan dingin dan licik kembali terulang dalam King Arthur 2017. Tatapan mata dan ekspresi wajah sinisnya itu lho bikin gemes! Cocok, pas, tepat pemilihan dia sebagai raja Vortigern yang licik, jahat, ambisius. Sayangnya, ini hanya sayangnya lho ya, menurut saya, pada salah satu kostumnya terlalu kekinian. Coba berikan perhatian pada scene Vortigern menerima utusan yang menyatakan kepatuhan mereka terhadap raja, rasanya bukan menghadapi raja lalim zaman baheula, tapi semacam berhadapan dengan eksekutif muda yang rapi jali siap meeting untuk memenangkan tender. Belum lagi gaya rambutnya. Kali ini saya harus bilang Wow! Bahasa kasarannya, "Jaman semono rambute wes klimis nganggo pomade?!" (Zaman segitu rambutnya sudah klimis pakai pomade?!) Sama, sama halnya dengan King Arthur sendiri. Khusus King Arthur yang diperankan Charlie Hunnam, saya seakan terlempar kembali ke tahun 1999. Sosoknya serupa Brendan Fraser dalam film Mummy kala itu. Gaya berpakaian dan tindak tanduknya membuat saya semacam mengalami de javu. 

Guy Ritchie juga cerdas mengejawantahkan dua hal paling masuk akal dari sebuah legenda kehidupan kerajaan yang perbedaannya seperti langit dan bumi dengan kehidupan jalanan. Hal ini nyata dari yang paling sepele namun tanpa disadari membentuk karakter paling kuat dalam film. Cobalah lebih cermat menyimak aksen bahasa antara yang hidup di lingkungan istana dan di jalanan. Jika yang berada di balik tembok istana aksen Inggrisnya begitu pelan dan tertata, jelas dan berkelas, tak demikian halnya dengan Arthur saat masih praraja dan teman-temannya, lebih bebas, slenge'an, dan lugas. 

Di atas saya sudah membahas hal-hal yang menurut saya menarik dan merupakan poin plus bagi film ini. Baiklah,  mari melihat dari sudut pandang yang menurut saya agak tidak masuk akal dan membuat film ini terasa rumit jika ditonton oleh under 17th. Yang pertama, ini adalah kisaran tak masuk akalnya. Mengapa Arthur kecil tidak dibunuh sekalian oleh sang paman yang kala itu sudah dikuasai napsu iblis untuk berkuasa? Memang, jawabannya sepele. Jika Arthur kecil dibunuh saat sang ayah berseteru dengan iblis jelmaan pamannya, maka ya sudah, tidak akan ada legenda King Arthur dan Excalibur yang paling tersohor itu. Tapi setidaknya bisa dibuat sedikit dramatislah kisah selamatnya Arthur kecil usai menyaksikan perseteruan ayah dan pamannya, entah itu usai diteriakkan "Run, Son!" Ia lantas diselamatkan dengan sedikit perkelahian antara penyihir baik dan sang paman, atau apalah gitu supaya ada aksi perlawanan, tak hanya terkesan lolos gampangan lantas di kemudian hari sang paman baru dipusingkan dengan kemungkinan munculnya sang raja sebenarnya.  Ketidak masuk akalan yang kedua; dengan pasukan berjumlah ribuan, adalah aneh jika aroma pemberontakan yang hanya dilakukan oleh segelintir orang sulit terendus. Katakanlah memang aksi kudetanya underground, namun tetap janggal jika sebuah negara tak mampu mendeteksi keberadaan riak-riak kecil yang kemudian hari berubah menjadi percikan bahkan gelombang perlawanan paling meruntuhkan kekuasaan. Sementara itu, sedikit kekurangan fim ini hanya berasal dari alur penggeraknya. Film berdurasi kurang lebih dua jam ini mengadopsi alur campuran dengan kombinasi dialog disertai cuplilkan-cuplikan adegan imajiner  yang pasti menimbulkan kebingungan penonton bawah umur.

Untuk nilai moral sendiri, saya mencatat beberapa poin:
1. Kekuasaan lalim yang menghalalkan segala cara cepat atau lambat pasti akan runtuh.
2. Penolakan dan pengkhianatan jika disikapi dengan baik merupakan salah satu guru paling sempurna yang mampu menempa pribadi menjadi lebih cermat, kuat, dan hebat.
3. Meski ditutupi bagaimanapun, kebenaran hakikatnya tetaplah kebenaran. Tak terbantahkan, tak terelakkan.
4. Kadang kita terpaksa menjalani hal yang paling tidak kita ingini karena tak kuasa melawan takdir, namun jika sudah demikian, apa boleh buat, lakukan dan jalanilah sebaik-baik hal yang dapat kita perbuat.
5. Percayalah pada kekuatan dan kemampuan diri sendiri meski kadang untuk memaksimalkan segala potensi itu kita perlu menaklukkan apapun yang menjadi kendala, termasuk kekerdilan diri sendiri.
6. Jadilah pemimpin yang mendengarkan.
7. Tetaplah bersetia pada siapapun yang sudah menjadi bagian dari tumbuh kembang.
8. (Ada yang mau menambahkan? Jika ada nanti akan saya beri nilai tambahan deh! Anggap saja kita sedang ulangan harian 😂😝)

Akhirnya saya rasa tak berlebihan jika usai menonton film ini serta merta saya memberikan standing applause (saya berani berbuat demikian karena ketika menonton posisi bangku saya adalah yang paling belakang; A 10. Jadi jika pun terkesan norak, hanya beberapa orang saja yang melihatnya, dan tentunya tak mengganggu pandangan penonton lainnya) Ujung cerita yang sungguh membuat lega dan berakhir bahagia. Jika di-ratting dengan bintang skala lima, hmmm... angkanya 4,5. Mengapa tak lima? Mengutip pernyataan salah seorang transgender paling sohor di Indonesia, kesempurnaan hanyalah milik Allah 😆

Usai menulis ini saya merasa semacam purna menyampaikan materi pelajaran pada kelas VII semester gasal dengan masih berpegang  pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Dongeng, spesifikasi legenda dan relevansinya dengan kehidupan nyata. Hah! 😅




Share:

Kamis, 11 Mei 2017

Ada Ketulusan di Belantara Keterasingan



"Kematian hanyalah mutasi mimpi."

Sungguh kuat kalimat tersebut melekat dalam piranti pengingat saya, ketika kira-kira 22 tahun yang lalu, saya yang saat itu tengah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar menonton sepekan film nasional yang ditayangkan oleh televisi plat merah. Kala itu saya belum cukup umur untuk menerjemahkan arti kalimat tersebut  dan hanya merasa begitu terpesona dengan deretan kata yang seingat saya diucapkan sebanyak tiga kali oleh Renny Djajoesman yang berpenampilan eksentrik dan pada film itu didapuk sebagai pemeran ibu dari seorang anak bernama Kania. 

Belakangan, semakin bertambah usia rasanya semakin benderang makna kalimat tersebut dapat saya cerna, meski toh saya harus tetap berpegang pada esensi  dunia kata-kata yang terkadang multimakna. "Kematian hanyalah mutasi mimpi," rasanya menjadi suatu percikan permenungan tentang bagaimana cara kita memandang suatu fase dalam siklus sebagai makhluk hidup. Bahwasanya kematian dianggap sebagai mutasi dari mimpi. Saya kira tidak berlebihan jika tetap dikaitkan dengan dinamika kehidupan yang  kiranya akan menggeliat dan penuh harap dengan diawali dari mimpi. Demikian juga rangkaian kata dalam kalimat tersebut, setidaknya mengajak dan mengajar kita untuk tetap berharap adanya sesuatu yang lebih dari sekadar kematian itu sendiri yang akan terejawantah dengan diawali mimpi.  


Lebih dari dua dekade setelah saya menyaksikan film garapan anak bangsa yang saya jabarkan di atas, suatu hari di bulan Juni, saya berkesempatan mengikuti misa pemakaman seseorang yang bahkan sebelumnya tidak pernah saya jumpai atau kenal. Perbincangan singkat mengenai proses pemakaman dengan pastor paroki sehari sebelum berlangsung prosesi pemakaman yang menggiring langkah saya pagi itu ke arah kaki Gunung Sari Singkawang, ke suatu tempat bernama Alverno, kawasan yang didiami oleh para pasien kusta. Dari kebanyakan awam, mereka terkesan dipinggirkan, menjadi yang berlabel minoritas dan seolah berada di tengah belantara keterasingan.     

Ibadat arwah yang digelar di kapel pagi itu hanya dihadiri 27 orang yang didominasi pasien kusta, seorang suster  pengurus Alverno, Pastor Marius (karena bertugas memimpin ibadat arwah) dan saya. Saat itu yang terlintas dalam benak saya adalah pemikiran betapa dalam hidup dan ketika ajal menjemput,  atmosfer kesunyian pantang surut menghadang.  Seketika  aroma duka seolah berhasil berkolaborasi dengan harum dupa, meruap memenuhi ruangan sekaligus berlomba menyesaki  dada.  Jangankan mereka yang benar-benar mengenal sosok yang kini terbaring tenang di dalam peti, saya pun tak pelak dirangkul haru yang perlahan menyesap.  

Tak ada ratap berlebihan, namun semua kepala tertunduk, begitu patuh pada belasungkawa. Tak ada sirine mobil jenazah yang meraung-raung membelah jalanan kota menuju kompleks pemakaman. Sunyi, teramat sunyi. Jika pun ada suara, itu hanya bunyi roda kereta pengangkut peti jenazah yang juga didorong oleh sesama penderita kusta, serta langkah kaki pelayat yang  menggesek pada jalanan setapak yang beraspal. Sungguh seperti adegan pemakaman yang hanya setting-an dalam sinetron atau film-film dalam negeri yang lebih sering tidak masuk akal karena hanya dihadiri oleh orang dalam hitungan jari.  

Meski hanya dihadiri beberapa gelintir saja, semua mata dan raut wajah tampak tulus, jauh dari modus yang terkadang kita jumpai dalam pemakaman orang kebanyakan. Jika boleh saya meminjam istilah salah seorang penulis dalam negeri yang mengibaratkan kematian lebih sering hanya sebagai konstruksi duka, melayat dengan semangat mengisi absensi, namun keadaan itu tidak saya jumpai di area ini. 

Tidak selesai sampai di situ, ada yang lebih meradangkan keharuan saya manakala di area pemakaman tempat liang lahat dipersiapkan, para penggali makam yang sedari awal telah setia menunggu  dengan cekatan menerima serta menanggapi kedatangan jenazah sahabat mereka. Ya, para penggali makam ini adalah juga pasien-pasien Alverno. Mereka bekerja seolah tanpa penghalang meski anggota badan ada yang telah hilang. Saya terkesima saat salah satu dari antara mereka yang telah kehilangan telapak tangan begitu terampil menguruk tanah pemakaman dengan cangkul yang diikat di bagian pergelangan tangan kanan dan dibantu tangan kiri yang pun telah kehilangan beberapa jari. 

Di akhir proses pemakaman, ketika masih berada di antara mereka, saya yang saat itu tengah mengabadikan gambar makam, sempat mendengar obrolan antara suster pengurus Alverno dengan seorang ibu yang meminta para penggali makam  agar tidak bubar dan mengarahkan mereka ke dapur untuk bersantap bersama. Hanya dengan makanan mereka 'diganjar' atas pekerjaan yang mereka lakukan, namun segalanya diterima dengan penuh syukur dan kegembiraan.  Mereka sungguh luar biasa, mereka bekerja tanpa tendensi apa-apa.  Atas nama solidaritas, segalanya dilakukan dengan tulus dan ikhlas.

Masih di area pemakaman yang teduh ini, laci-laci emosi saya kembali digeledah demi menyaksikan penanda makam hanya dari batang tanaman yang ditancapkan. Tanpa nama, apalagi embel-embel  gelar sarjana seperti yang sering kita jumpai pada nisan orang kebanyakan yang  sebenarnya memang tak ada korelasinya  dengan kelahiran, kematian, apalagi Tuhan.
Pada jalan setapak menuju tempat saya memarkir kendaraan, saya sempat terlibat perbincangan singkat dengan Pastor Marius. Beliau seolah menangkap duka yang tersirat di wajah saya, dengan tenang beliau berujar, "Kematian adalah kegembiraan. Ini sesuai janji Yesus Kristus tentang kehidupan kekal setelah kematian yang diperoleh melalui permandian." Dijejali rasa masygul, saya mencerna kalimat yang lantas saya kaitkan dengan dialog film yang saya saksikan 22 tahun silam. "Kematian hanyalah mutasi mimpi." Kehidupan kekal setelah kematian yang diperoleh melalui permandian seolah menjadi jawaban  segala impian. Impian tentang kehidupan kekal berbalur kebahagiaan.   

Saat membalikkan badan, berjalan ke arah pulang, entah mengapa saya merasa kesesakan semakin menjalari rongga dada, sekaligus seperti baru saja kehilangan jutaan kosa-kata dalam pikiran untuk menerjemahkan apa yang saya rasakan  ketika menghadiri pemakaman barusan.       
Share:

DOA


Tuhan, ini hari aku minta kirimi jodoh.
Yang seiman, yang mapan, yang rupawan.
Lebih bagus lagi kalo tidak matre, tidak juga kere.
-------------------------------------------------------

Halah…, pasti jawab-Mu,
"Emank situ oke?!"




Share:

Rabu, 10 Mei 2017

SYARAT



Cawan dahaga, asmaradana Adam-Hawa
terusir dari swarga loka.
Jika Mendut mampu melinting Pranacitra dengan tembakaunya,
jika Nawangwulan mampu memikat Tarub dengan selendangnya,
jika Shinta mau membakar diri dalam api karna kecintaannya pada Rama,
jika Gibran mematahkan sayap demi Shelma,
jika Sukab menyobek senja untuk Alina,
jika itu pula aku tak rasional sejak kau kukenal!



Share:

SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN; sebuah catatan


Dari seluruh buku Pram yang sudah dibaca, baru di buku ini nemu ending-nya tidak "berwarna kelabu". Rasanya semacam berkenalan dengan Pram dari angel yang berbeda. Satu saja yang sama, tetap meneriakkan sekaligus menunjukkan kepalan 'nasionalisme' tapi dari sudut pandang lain. Semacam bukan Pram, tapi kok yo ini Pram?! 😕😥 Yang tetap menjadi ciri tak termungkiri adalah narasi dan deskripsi Pram yang selalu rinci. 

Buku yang kiranya habis dibaca sekali duduk namun sanggup mengajak berpikir masif menerjemahkan bentuk keadaan seperti apa yang pantas diperjuangkan ini sangat layak jika menjadi bahan ajar bagi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (menengah atas dan perguruan tinggi). Ke-Indonesia-annya yang demikian kental mengajak selalu berpikir ulang tentang esensi republik ini yang berdiri di atas 'berbagai corak dan sama sekali tidak dapat diseragamkan.' Refleksi dari sejarah, mari selalu melakukan telaah dan berpikir dari sudut pandang nasionalis sekaligus patriotisme.

Satu yang tak terelakkan, saat menikmati kata demi kata, terasa ada bagian yang digedor tapi ketika dibuka semacam hanya berjumpa dengan suatu ruang hampa. Mungkin karna sentuhan 'keperempuanannya' nya kurang. Ya, untuk seorang philogynik sekelas Pram, Chairil, bahkan Seno Gumira, keperempuanan adalah harga mati sebuah ending yang mampu membuat pembaca ikut meratap-ratap! Tabik, Eyang!



Share:

Selasa, 09 Mei 2017

JANGAN MENANGIS A LIP

Mana bukumu, Ri?

Ilang, Bu.

Ah, betapa santainya anak baru gede (ABG) itu menjawab pertanyaan saya. Serasa hanya baru saja ditanya, "Darimana Ri?", "Dari sana". Acuh, tak peduli, tak ambil pusing. Hilang ya sudah, tak jadi masalah.

Prihatin sekali rasanya mendapat jawaban semacam ini dari seorang siswa saya di bangku sekolah menengah pertama. Melayang ingatan saya pada suatu masa, jika tidak keliru di kisaran Januari 2010.  Kala itu saya masih berstatus guru honorer di salah satu sekolah dasar swasta yang baru saja dibangun atas kongsi donatur-donatur etnis keturunan yang memang mayoritas di kota saya. Sekolah dasar yang baru saja dibangun itu diperuntukkan bagi anak-anak di lingkungan sekitar sekolah yang bersangkutan. Hampir merata anak yang bersekolah di situ berasal dari golongan keluarga tidak mampu. Banyak di antara mereka yang orang tuanya berprofesi sebagai tukang bangunan, ibu sebagai pengurus rumah tangga, masih dengan embel-embel adik beradik yang banyak pula.

Suatu siang, selepas jam istirahat, ada kebiasaan yang sengaja diatur sedemikian rupa oleh pihak sekolah, secara bergiliran beberapa siswa mendapat tugas menutup pintu gerbang sekolah. Maklum, siswa kami yang notabene masih anak-anak sekolah dasar masih sering dikunjungi orang tua masing-masing untuk sekedar mengantarkan makan pada saat jam istirahat. Kebetulan hari itu yang mendapat giliran menutup pintu gerbang adalah siswa dengan nama Pui Jun Lip, atau biasa dipanggil A Lip.  Dari depan kelas, saya dan seorang Lao tse (sebutan untuk guru bahasa Mandarin) memerhatikannya yang agak kesulitan menggeser gerbang yang lumayan besar bagi ukuran anak sekolah dasar. Sambil tetap melihat ke arah gerbang sekolah, Lao tse tadi bertanya kepada saya,

"Kakak, Kakak ada lihat anak itu kah?"

 "Ya, saya lihat. Itu A Lip kan? Anak dua B"

 Sosoknya mudah dikenali dari postur tubuhnya lebih kecil dibanding ukuran kepalanya.

"Ya.. Pui Jun Lip. Kasihan dia, Kak."

"Lho, memangnya kenapa? Anak itu rajin kalau pelajaran saya, rapi pula tulisannya."

"Adiknya banyak, mungkin ada empat orang adik, bapaknya hanya kerja jadi tukang cat, ibunya ibu rumah tangga, bapaknya matanya cacat, Kak, juling. Kasihan. Tiap pulang sekolah pasti dia pergi mancing dekat kuburan. Lauknya kalau mereka makan cuma ikan yang dia pancing. Kalau ndak dapat mereka cuma makan nasi sama lobak asin yang dikeringkan"

Tersentak saya mendengar sekelumit cerita tentang kehidupan keseharian A Lip kecil.

Beberapa minggu berselang. Saat itu pelajaran Bahasa Mandarin yang merupakan salah satu pelajaran muatan lokal di sekolah kami mengharuskan setiap siswa memiliki buku paket yang dipergunakan dalam proses belajar mengajar. Kebetulan hari itu adalah hari Jumat, hari piket saya. Kewajiban guru piket adalah berkeliling memantau seluruh keadaan sekolah pada jam istirahat tak luput dari kelas ke kelas pula. Hari itu saya mendapati A Lip berada di dalam kelas sambil menangis tersedu-sedu. Saya bingung dihadapkan pada situasi semacam ini. Di satu sisi saya memiliki kewajiban untuk menyelesaikan masalah penyebab A Lip menangis, di sisi lain saya mengalami benturan pada bahasa pengantar untuk bicara dan mengetahui apa penyebab A Lip kecil menangis. Serta merta saya menuntun A Lip kecil ke kantor guru, lantas meminta bantuan seorang teman yang berasal dari etnis keturunan bertanya apa penyebab A lip menangis. Lumayan lama untuk mendapat jawaban sebabnya menangis, hingga satu jawaban mencengangkan keluar dari mulut anak kecil itu, A Lip menangis bingung karena setelah istirahat adalah jam pelajaran Bahasa Mandarin sedangkan dia belum memiliki buku paket Bahasa Mandarin. Setelah menuturkan penyebabnya menangis, A Lip terlihat lebih tenang. Isak tangisnya saja yang bersisa. Kami guru-guru lantas berinisiatif membelikan buku paket Bahasa Mandarin agar A Lip bisa terus belajar. Namun jawaban A Lip di luar dugaan. A Lip dengan terbata-bata menjawab dengan bahasa Tionghoa setempat, "Lao tse ngai kiam phu mui nyit ban jit chien ho mo?" Rekan-rekan guru yang paham bahasa tionghoa setempat dibuat terperangah, tinggal saya yang kebingungan melihat reaksi rekan-rekan guru. Hmm, saya tidak paham apa maksud perkataan A Lip. Lantas seorang rekan  menerjemahkannya kepada saya, "Dia bilang Lao tse, boleh nggak saya beli bukunya tapi saya bayarnya seribu setiap hari" Terduduk lemas saya mendengar jawaban anak kecil itu. Betapa hebat jiwanya. Jiwanya tidak miskin. Semangatnya belajar begitu besar. A Lip menangis khawatir dia akan ketinggalan pelajaran, bukan menangis karena takut dimarahi oleh lao tse akibat tidak memiliki buku paket. Hal ini bisa saya pastikan karena kebetulan saya cukup mengenal dekat sosok lao tse pengampu mata pelajaran Bahasa Mandarin yang sangat lemah lembut dan tidak pernah marah terhadap siswa.

Ketika mendapat jawaban dari siswa saya yang ABG itu entah mengapa slide A Lip melintas begitu rupa.

Secara personal, A Lip yang saya kenal adalah siswa yang sejak pertama kali saya masuk dan mengajar di sekolah dasar itu telah membuat saya terkagum-kagum karna tulisan tegak bersambungnya demikian rapi dibanding teman-teman sekelasnya. A Lip sangat pendiam. Jarang sekali bisa mendengar suaranya kecuali ketika ada hal yang benar-benar lucu dan mampu membuatnya tertawa. Selebihnya, A Lip lebih sering terpaku ketika saya menyampaikan materi pelajaran yang saya ampu (mungkin karena kurang memahami bahasa Indonesia sementara saya tergagap-gagap ketika harus bertutur menggunakan bahasa Tionghoa setempat). Kadang A Lip tersenyum ketika saya menjelaskan dengan mimik yang sengaja saya buat lucu untuk menarik perhatian "anak-anak bawang itu".

Sekelumit tentang A Lip kecil dengan mental yang besar.

Saya lantas bertanya-tanya dalam hati, membatin, mereka-reka alasan dan bahkan berusaha mencari-cari pembenaran dari jawaban siswa saya yang ABG tadi. Herannya, semakin saya berusaha untuk berpikir positif "Ah, mungkin memang hilang", "Ah, mungkin ketingggalan ketika dia sedang belajar", dan bahkan seratus  macam "Ah, mungkin" yang sengaja saya lintaskan sekuat-kuatnya dan secepat-cepatnya dalam pikiran saya pun tak berhasil mengusir kegusaran saya atas jawaban "Ilang, Bu" yang diucapkan seperti tanpa dosa.

Begitu tidak pedulinya dia pada kemajuan pelajarannya. Begitu tak ambil pusing dia pada perkembangan kecerdasannya. Pendek kata masa bodohlah. Adakah yang salah dengan usia mereka, mungkin berdampak pada sisi psikis keduanya, menilik perbedaan yang lumayan jauh pada usia A Lip kecil dan Ari ABG. Ketika kecil sangat bersemangat untuk tahu dan paham banyak hal, beranjak besar mengalami masa tidak peduli pada semua soal? Atau ini sekedar masalah mental?

Rasanya saat mendapat jawaban dari siswa saya yang ABG itu, ingin sekali saya menghambur ke parkiran  sekolah lantas menyetater sepeda motor saya, melarikannya kencang-kencang mencari A Lip dan berkata "A Lip jangan menangis lagi, di luar sana banyak orang tidak sebesar mentalmu, Nak"

Hmm…, yang jelas hingga tulisan ini saya tuntaskan, saya masih jengah dengan jawaban yang selalu saya anggap acuh dan paling tidak bermutu itu.

 

 

*Untuk anak Didikku, Pui Jun Lip ; yang membuka mataku, mata batinku



Terkirim dari tablet Samsung.
Share:

PANGGIL AKU KARTINI SAJA; SEKILAS DALAM SINEMA


Menggetarkan menyaksikan slide diputar di layar lebar mempertontonkan gerak laku priyayi Jawa yang runduk takluk beringsut timpuh menghantar sembah. Tak berhenti sampai di situ manakala setting suasana sengaja dibangun sedemikian rupa oleh Hanung Bramantyo untuk membujuk indra pendengar pirsawannya benar-benar memasuki atmosfer Jawanisme dengan tembang dan langgamnya.

Sungguh, kisah salah seorang tokoh feminis Indonesia yang diangkat dari biografi guratan Pramoedya Ananta begitu mampu menawan mata. Sayangnya secara pribadi saya merasa penglihatan saya justru tertawan bukan oleh akting tokoh utama yang namanya sekaligus sebagai judul filmnya, Kartini. Saya malah terpukau pada pemeran empat tokoh lain yang rasanya sangkil dipilih oleh sang sutradara.

Pertama, sosok Trinil alias Kartini kecil yang sanggup menjerit menumpahkan emosi begitu lepas dan bebas seolah di sekitarnya tak ada kamera tengah "menggerayangi" lagak lagunya. Kemunculan Trinil kecil sukses membongkar laci-laci emosi di awal film. Jika hingga beranjak dewasa sang pemeran Trinil mampu mengasah bakat dan kemampuan dan bertahan di dunia seni peran, rasa-rasanya tak berlebihan ia akan menjadi the next super star. Kedua, tokoh ayahanda, Sang Bupati Jepara. Betapa citra berwibawa dititiskan dalam tubuh aktor senior Deddy Sutomo. Suara dan perawakan bapak tua nan tampan yang Puji Tuhan berumur panjang ini rasanya mangkus membangun karakter ayah sekaligus sahabat, juga bupati. Seluruh artikulasi, intonasi, mimik, dan kinesiknya rasanya pas, tidak berlebihan, tidak juga kekurangan, sesuai dengan yang digambarkan oleh Eyang Pram dalam 'Panggil Aku Kartini Saja'. Ketiga dan sebenarnya tidak perlu diragukan kemampuan berlakonnya, Christine Hakim. Senior yang satu ini memerankan Ngasirah, ibu dari Trinil alias Kartini. Dari ekspresi wajahnya saja ketika rahangnya menegang, belum lagi dera rasa dalam pandangan kosong dan nafas yang seolah berlomba melepaskan diri dari rongga dada sungguh membuat scene ibu dan anak bersetting danau menjadi salah satu yang paling favorit dan mengharu biru, syahdan di penghujung film saat air matanya berderai-derai dalam sujud dengan tangan berusaha menggapai sang buah cinta. Perasaan siapa tidak tergerus menyaksikan pemandangan semacam ini. Ya, ia berlakon dengan segenap hati, dengan segenap jiwanya. Tokoh keempat yg juga rasanya paling 'jahat' karena mampu menyandra ingatan saya dan membuat terkenang-kenang, terbayang-bayang wajah dan perilakunya adalah tokoh Pak Atmo. Batur pria yang setia. Sosok seperti kebanyakan orang Jawa pada umumnya yang sederhana, jujur, dan sangga sabda. Apapun perintah junjungannya, itulah yang mentah-mentah akan ditelannya. Wajahnya lugu dengan emosi seperlunya seperti tidak sedang berhadapan dengan kamera membuat saya lantas merasa harus berujar; "Pak Atmo, yang kamu lakukan ke saya itu, jahat!" 😭 (ditulis dengan ingatan pada salah satu kalimat fenomenal yang diucapkan Cinta pada Rangga dalam film AADC 2) Who are you, Mr Atmo? Saya tidak sempat membaca closing credit title hingga akhir untuk menemukan nama aslimu karena petugas keamanan bioskop sudah melirik saya yang tak kunjung beranjak dari deretan bangku ungu meski film sudah ditutup dengan soundtrack Memang Kenapa Bila Aku Perempuan oleh Melly Goeslaw.

Film ini berkarakter, hanya saja sedikit yang mengganggu telinga saya kala bilingual Jawa dan Indonesia yang dicampur aduk dan tak tepat dalam pengucapan. Bagi penonton non-Jawa, mungkin hal ini bukan menjadi masalah serius, tapi bagi pendengar dan penutur asli Jawa, maka lafal-lafal yang tak pas di telinga menjadi 'riak' kecil yang lumayan berarti. Belum lagi penggunaan strata bahasa antara inggil, madya, dan ngoko yang berusaha dipadu padan meski rasanya tetap terkesan sangat dipaksakan. Oh, ada yang keliru di akhir cerita. Untungnya hanya dituliskan sebagai pelengkap saja, tapi toh kekeliruan yang lumayan fatal karena menyangkut sejarah. Tentang beasiswa yang diperoleh Kartini lantas dihibahkan pada Haji Agus Salim. Beasiswa itu di situ tertulis jadi digunakan, namun sebenarnya menurut halaman 130 dalam Panggil Aku Kartini Saja, tiket emas pendidikan itu urung dimanfaatkan.

Benang merah juga tak kunjung saya temukan dalam film ini dengan roman Pram pada Tetralogi Pulau Buru. Bukankah semua itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain mengingat meski roman, namun genre tulisan Pram pada Tetralogi Pulau Buru yang menyinggung mengenai gadis Jepara adalah roman sejarah?! Apakah memang sejarah terpisah, atau saya yang terlalu mentah memamah sejarah? Jika dalam buku Jejak Langkah, kaum koloniallah yang bersuara paling nyaring menahan laju anak panah yang melesat dalam diri Kartini; Gadis Jepara itu harus 'dipadamkan' dengan cara dipaksa ke pelaminan, maka dalam film ini saya malah melihat upaya pengekangan kebebasan datang dari tradisi Jawa konservatif bangsawan pribumi sendiri yang meletakkan perspektif perempuan hanya dalam kisaran dapur, sumur, kasur (khusus perempuan keturunan ningrat hanya kasur), entahlah.

Secara umum film ini baik. Membuka cakrawala bagi yang buta dan hanya memandang sejarah feminis oleh perempuan yang lahir 100 tahun sebelum tahun kelahiran saya 😜 yakni pada 1883 ini berlangsung ala kadarnya. Ya dalam pelajaran sejarah di sekolah kita hanya tahu Habis Gelap Terbitlah Terang, juga korespondensi seorang priyayi perempuan belia dengan sahabatnya Stella di Negeri Belanda. Namun ternyata di balik itu, betapa orang masa kini lupa, pendidikan pada zaman dulu sangatlah mahal, bukan hanya dalam artian materi namun lebih pada kesempatan.

Sedikit mengenai DS sebagai pemeran utama, tampilan secara visual dia tetap istimewa, namun jujur, saya cukup terganggu mendengar di beberapa monolog maupun dialog, Mbak DS berujar dengan Bahasa Indonesia namun terkesan sedikit 'memaksa' untuk terdengar berlogat Jawa. Eh, tapi, bukankan ketika seorang perempuan terlahir jika ia dilengkapi kecantikan pada wajahnya separuh kesalahan dan kekurangan dalam hidupnya sudah diampuni oleh dunia?! Saya rasa saya pun yang juga perempuan tak bisa benar-benar objektif ketika memberikan penilaian terhadap Mbak DS. 😅
Share:

Statistik Kunjungan

Arsip Blog

Recent Posts

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *