Selasa, 16 Mei 2017
King Arthur: Legend Of Sword (Laporan Pandangan Mata dari XXI Studio 2)
Kamis, 11 Mei 2017
Ada Ketulusan di Belantara Keterasingan
DOA
Rabu, 10 Mei 2017
SYARAT
Cawan dahaga, asmaradana Adam-Hawa
terusir dari swarga loka.
Jika Mendut mampu melinting Pranacitra dengan tembakaunya,
jika Nawangwulan mampu memikat Tarub dengan selendangnya,
jika Shinta mau membakar diri dalam api karna kecintaannya pada Rama,
jika Gibran mematahkan sayap demi Shelma,
jika Sukab menyobek senja untuk Alina,
jika itu pula aku tak rasional sejak kau kukenal!
SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN; sebuah catatan
Selasa, 09 Mei 2017
JANGAN MENANGIS A LIP
Ah, betapa santainya anak baru gede (ABG) itu menjawab pertanyaan saya. Serasa hanya baru saja ditanya, "Darimana Ri?", "Dari sana". Acuh, tak peduli, tak ambil pusing. Hilang ya sudah, tak jadi masalah.
Prihatin sekali rasanya mendapat jawaban semacam ini dari seorang siswa saya di bangku sekolah menengah pertama. Melayang ingatan saya pada suatu masa, jika tidak keliru di kisaran Januari 2010. Kala itu saya masih berstatus guru honorer di salah satu sekolah dasar swasta yang baru saja dibangun atas kongsi donatur-donatur etnis keturunan yang memang mayoritas di kota saya. Sekolah dasar yang baru saja dibangun itu diperuntukkan bagi anak-anak di lingkungan sekitar sekolah yang bersangkutan. Hampir merata anak yang bersekolah di situ berasal dari golongan keluarga tidak mampu. Banyak di antara mereka yang orang tuanya berprofesi sebagai tukang bangunan, ibu sebagai pengurus rumah tangga, masih dengan embel-embel adik beradik yang banyak pula.
Suatu siang, selepas jam istirahat, ada kebiasaan yang sengaja diatur sedemikian rupa oleh pihak sekolah, secara bergiliran beberapa siswa mendapat tugas menutup pintu gerbang sekolah. Maklum, siswa kami yang notabene masih anak-anak sekolah dasar masih sering dikunjungi orang tua masing-masing untuk sekedar mengantarkan makan pada saat jam istirahat. Kebetulan hari itu yang mendapat giliran menutup pintu gerbang adalah siswa dengan nama Pui Jun Lip, atau biasa dipanggil A Lip. Dari depan kelas, saya dan seorang Lao tse (sebutan untuk guru bahasa Mandarin) memerhatikannya yang agak kesulitan menggeser gerbang yang lumayan besar bagi ukuran anak sekolah dasar. Sambil tetap melihat ke arah gerbang sekolah, Lao tse tadi bertanya kepada saya,
"Kakak, Kakak ada lihat anak itu kah?"
"Ya, saya lihat. Itu A Lip kan? Anak dua B"
Sosoknya mudah dikenali dari postur tubuhnya lebih kecil dibanding ukuran kepalanya.
"Ya.. Pui Jun Lip. Kasihan dia, Kak."
"Lho, memangnya kenapa? Anak itu rajin kalau pelajaran saya, rapi pula tulisannya."
"Adiknya banyak, mungkin ada empat orang adik, bapaknya hanya kerja jadi tukang cat, ibunya ibu rumah tangga, bapaknya matanya cacat, Kak, juling. Kasihan. Tiap pulang sekolah pasti dia pergi mancing dekat kuburan. Lauknya kalau mereka makan cuma ikan yang dia pancing. Kalau ndak dapat mereka cuma makan nasi sama lobak asin yang dikeringkan"
Tersentak saya mendengar sekelumit cerita tentang kehidupan keseharian A Lip kecil.
Beberapa minggu berselang. Saat itu pelajaran Bahasa Mandarin yang merupakan salah satu pelajaran muatan lokal di sekolah kami mengharuskan setiap siswa memiliki buku paket yang dipergunakan dalam proses belajar mengajar. Kebetulan hari itu adalah hari Jumat, hari piket saya. Kewajiban guru piket adalah berkeliling memantau seluruh keadaan sekolah pada jam istirahat tak luput dari kelas ke kelas pula. Hari itu saya mendapati A Lip berada di dalam kelas sambil menangis tersedu-sedu. Saya bingung dihadapkan pada situasi semacam ini. Di satu sisi saya memiliki kewajiban untuk menyelesaikan masalah penyebab A Lip menangis, di sisi lain saya mengalami benturan pada bahasa pengantar untuk bicara dan mengetahui apa penyebab A Lip kecil menangis. Serta merta saya menuntun A Lip kecil ke kantor guru, lantas meminta bantuan seorang teman yang berasal dari etnis keturunan bertanya apa penyebab A lip menangis. Lumayan lama untuk mendapat jawaban sebabnya menangis, hingga satu jawaban mencengangkan keluar dari mulut anak kecil itu, A Lip menangis bingung karena setelah istirahat adalah jam pelajaran Bahasa Mandarin sedangkan dia belum memiliki buku paket Bahasa Mandarin. Setelah menuturkan penyebabnya menangis, A Lip terlihat lebih tenang. Isak tangisnya saja yang bersisa. Kami guru-guru lantas berinisiatif membelikan buku paket Bahasa Mandarin agar A Lip bisa terus belajar. Namun jawaban A Lip di luar dugaan. A Lip dengan terbata-bata menjawab dengan bahasa Tionghoa setempat, "Lao tse ngai kiam phu mui nyit ban jit chien ho mo?" Rekan-rekan guru yang paham bahasa tionghoa setempat dibuat terperangah, tinggal saya yang kebingungan melihat reaksi rekan-rekan guru. Hmm, saya tidak paham apa maksud perkataan A Lip. Lantas seorang rekan menerjemahkannya kepada saya, "Dia bilang Lao tse, boleh nggak saya beli bukunya tapi saya bayarnya seribu setiap hari" Terduduk lemas saya mendengar jawaban anak kecil itu. Betapa hebat jiwanya. Jiwanya tidak miskin. Semangatnya belajar begitu besar. A Lip menangis khawatir dia akan ketinggalan pelajaran, bukan menangis karena takut dimarahi oleh lao tse akibat tidak memiliki buku paket. Hal ini bisa saya pastikan karena kebetulan saya cukup mengenal dekat sosok lao tse pengampu mata pelajaran Bahasa Mandarin yang sangat lemah lembut dan tidak pernah marah terhadap siswa.
Ketika mendapat jawaban dari siswa saya yang ABG itu entah mengapa slide A Lip melintas begitu rupa.
Secara personal, A Lip yang saya kenal adalah siswa yang sejak pertama kali saya masuk dan mengajar di sekolah dasar itu telah membuat saya terkagum-kagum karna tulisan tegak bersambungnya demikian rapi dibanding teman-teman sekelasnya. A Lip sangat pendiam. Jarang sekali bisa mendengar suaranya kecuali ketika ada hal yang benar-benar lucu dan mampu membuatnya tertawa. Selebihnya, A Lip lebih sering terpaku ketika saya menyampaikan materi pelajaran yang saya ampu (mungkin karena kurang memahami bahasa Indonesia sementara saya tergagap-gagap ketika harus bertutur menggunakan bahasa Tionghoa setempat). Kadang A Lip tersenyum ketika saya menjelaskan dengan mimik yang sengaja saya buat lucu untuk menarik perhatian "anak-anak bawang itu".
Sekelumit tentang A Lip kecil dengan mental yang besar.
Saya lantas bertanya-tanya dalam hati, membatin, mereka-reka alasan dan bahkan berusaha mencari-cari pembenaran dari jawaban siswa saya yang ABG tadi. Herannya, semakin saya berusaha untuk berpikir positif "Ah, mungkin memang hilang", "Ah, mungkin ketingggalan ketika dia sedang belajar", dan bahkan seratus macam "Ah, mungkin" yang sengaja saya lintaskan sekuat-kuatnya dan secepat-cepatnya dalam pikiran saya pun tak berhasil mengusir kegusaran saya atas jawaban "Ilang, Bu" yang diucapkan seperti tanpa dosa.
Begitu tidak pedulinya dia pada kemajuan pelajarannya. Begitu tak ambil pusing dia pada perkembangan kecerdasannya. Pendek kata masa bodohlah. Adakah yang salah dengan usia mereka, mungkin berdampak pada sisi psikis keduanya, menilik perbedaan yang lumayan jauh pada usia A Lip kecil dan Ari ABG. Ketika kecil sangat bersemangat untuk tahu dan paham banyak hal, beranjak besar mengalami masa tidak peduli pada semua soal? Atau ini sekedar masalah mental?
Rasanya saat mendapat jawaban dari siswa saya yang ABG itu, ingin sekali saya menghambur ke parkiran sekolah lantas menyetater sepeda motor saya, melarikannya kencang-kencang mencari A Lip dan berkata "A Lip jangan menangis lagi, di luar sana banyak orang tidak sebesar mentalmu, Nak"
Hmm…, yang jelas hingga tulisan ini saya tuntaskan, saya masih jengah dengan jawaban yang selalu saya anggap acuh dan paling tidak bermutu itu.
*Untuk anak Didikku, Pui Jun Lip ; yang membuka mataku, mata batinku