Tahu cerita Adipati Karno? Tokoh pewayangan berdarah Pandawa yang dibesarkan oleh Kurawa dan akhirnya tetap setia membela Kurawa meski harus menghadapi saudara sendiri?! Ingat kisah Nabi Musa yang selamat setelah dihanyutkan oleh ibunya di sungai Nil? Setidaknya pernah denger donk..., kemasyuran Robin Hood 'maling' baik hati pengumpul pundi-pundi plus penyelamat banyak orang yang tertidas. Legenda Raja Arthur adalah sosok Karno versi Eropa yang dibesarkan oleh dunia dan para pekerja prostitusi kemudian harus menghadapi saudara (paman) sendiri, memulai 'karir' sebagai raja yang diselamatkan hidupnya ala-ala Nabi Musa, dan beraksi membelot, melawan kelaliman serupa Robin Hood. Pendek kata King Arthur itu sejenis paket komplit nan ideal kisah sesosok manusia yang memang titisan pemimpin yang amat dicintai rakyatnya namun harus tersingkir karena ketamakan dan ambisi saudara sedarahnya.
Diawali pemandangan bunga api raksasa pada ujung menara, disusul kekacauan dan perang kolosal yang melibatkan manusia serta makhluk jadi-jadian (bagi yang belum menonton jangan lantas membayangkan makhluk jadian ala dalam negeri sejenis gerandong atau genderuwo 😝) Makhluk jadian itu dicipta dengan spesial efek canggih, sekaligus ajaibnya meski begitu mengerikan jika benar-benar nyata, maka dalam film hanya disikapi dengan ketakutan sewajarnya oleh orang-orang Eropa (Inggris dalam cerita). Dahi saya sempat mengernyit menyaksikan suasana yang bagi saya sedikit aneh mengingat sebagai orang Indonesia, saya terbiasa dihadapkan pada suasana yang sebenarnya biasa namun disikapi agak luar biasa oleh orang-orang di sekitar saya. Sekadar iseng terlintas bayangan jika para figurannya adalah alayers penonton acara-acara musik di stasiun televisi swasta itu maka, "Selamat! Kehebohan film ini levelnya akan mencapai to the max, bahkan tidak menutup kemungkinan cenderung membuat jera para penontonnya untuk menyaksikan ulang." 😩
Bicara tentang unsur pembangun film kolosal yang konon paling dinantikan sepanjang 2017 ini, setting dan pemeran pembantu menjadi salah sekian kunci utama penguat cerita. Khusus dalam King Arthur: Legend of The Sword, setting tempat dan pemeran pembantu yang saya rasa sukses mencuri hati para penonton mencakup tiga hal utama; megah, indah, artistik. Megah mewakili setting negeri sengketa yang berlatar benteng super tinggi dilengkapi menara utama yang menjadi salah satu inti penguat cerita. Bayangkan, betapa di zaman baheula manusia sudah mampu menghasilkan karya megah luar biasa. Meski ini hanya film dan bergenre legenda, saya sih percaya saja manusia pada zaman itu sudah mampu membangun peradaban demikian rupa, jika masih menyangkal, sila cocokkan dengan kastil-kastil megah dari abad 14, bahkan mungkin sebelumnya yang terdapat di Eropa sana. Kedua; indah! Sungai juga lembah-lembah ala pedesaan Inggris, Irlandia, atau mungkin juga Skotlandia sanggup menyejukkan mata (entahlah tepatnya ber-setting di mana yang jelas pada bagian ini saya hanya menerka belaka, jangan kiranya pembaca mentah-mentah menelan celotehan saya yang belum pernah sekalipun menjejakkan kaki ke negeri-negeri di sana. Saya hanya menerka berdasar pengalaman 'meminjam mata' via video-video National Geographic atawa foto siapa saja tentang negeri di sana yang sudah tersebar di dunia maya 😎✌) Ketiga dan ini berkaitan dengan pemeran pembantu namun 'berporsi besar' dalam pembentuk cerita; artistik. Dari kemunculan penyihir kegelapan serupa gurita raksasa namun berbadan tiga manusia, dua di antaranya berpenampilan sangat menggoda. Tak hanya mata pria yang dimanjakan dengan kemunculannya, saya yang wanita pun tak pelak berdecak kagum dengan geliat keduanya. Saya tidak melihat ini sebagai sesuatu yang fulgar, namun lebih pada visual yang sangat artistik. Sama halnya dengan kemunculan dewi air, memesona, bahkan terlalu memesona dengan gerak slow motion-nya (entah mengapa, rasa-rasanya adegan apapun yang dibuat slow motion bagi saya berkali-kali lipat menjadi lebih menarik. Mungkin karna secara psikologis hal ini menimbulkan efek dramatis) rasa-rasanya semacam cantik namun kokoh, lembut sekaligus berkuasa.
Beralih pada para pemerannya. Hi hallooo.. David Beckham is in the house! Bukan hal yang mengejutkan memang mengingat sosoknya adalah salah satu yang istimewa di negeri Big Ben sana. Setidaknya meski hanya muncul dalam satu scene yang durasinya tak lebih dari 2 menit, mungkin ia dianggap cukup bisa berandil menaikkan ratting film. Ya, khusus soal suami Posh Spice ini, saking sakti namanya, rasa-rasanya apapun yang disentuh akan menjadi uang. Tentunya Guy Ritchie as director plus produser ga mau rugi donk uda keluar duit banyak saat membesut salah satu cerita legenda paling TOP se-Britania Raya bahkan dunia dengan mendapuk Beckham sebagai cameonya. Kemunculan veteran MU ini tak pelak memberikan warna khusus dalam King Arthur versi 2017 dan diharapkan menjadi magnet tersendiri bagi penonton maupun calon penontonnya. Hanya saja, kok saya secara pribadi merasa Beckham di sini kurang greget ya, kurang 'setrong'. Karakternya ga terlalu dapat. Apa ekspektasi saya yang ketinggian? Dari suaranya saja terdengar agak cempreng. (Ah entahlah, mungkin ini hanya perasaan De' Hesty saja) 😃
Ok, stop! Cukup pembahasan soal salah satu hot daddy in the world itu, mari kita beralih ke Jude Law. Yes, as usual, he looks cool and handsome, ha?! Tolong, pernyataan saya kali ini jangan dilawan, lemesin aja 😂 doi bener-bener pemain watak. Masih segar dalam ingatan saya ketika si tampan yang satu ini berperan sebagai Dan, seorang penulis yang bisa dikatakan berkepribadian ganda dalam Closer (rilis 2004) Wajahnya yang inosen tapi selalu menyikapi apapun dengan dingin dan licik kembali terulang dalam King Arthur 2017. Tatapan mata dan ekspresi wajah sinisnya itu lho bikin gemes! Cocok, pas, tepat pemilihan dia sebagai raja Vortigern yang licik, jahat, ambisius. Sayangnya, ini hanya sayangnya lho ya, menurut saya, pada salah satu kostumnya terlalu kekinian. Coba berikan perhatian pada scene Vortigern menerima utusan yang menyatakan kepatuhan mereka terhadap raja, rasanya bukan menghadapi raja lalim zaman baheula, tapi semacam berhadapan dengan eksekutif muda yang rapi jali siap meeting untuk memenangkan tender. Belum lagi gaya rambutnya. Kali ini saya harus bilang Wow! Bahasa kasarannya, "Jaman semono rambute wes klimis nganggo pomade?!" (Zaman segitu rambutnya sudah klimis pakai pomade?!) Sama, sama halnya dengan King Arthur sendiri. Khusus King Arthur yang diperankan Charlie Hunnam, saya seakan terlempar kembali ke tahun 1999. Sosoknya serupa Brendan Fraser dalam film Mummy kala itu. Gaya berpakaian dan tindak tanduknya membuat saya semacam mengalami de javu.
Guy Ritchie juga cerdas mengejawantahkan dua hal paling masuk akal dari sebuah legenda kehidupan kerajaan yang perbedaannya seperti langit dan bumi dengan kehidupan jalanan. Hal ini nyata dari yang paling sepele namun tanpa disadari membentuk karakter paling kuat dalam film. Cobalah lebih cermat menyimak aksen bahasa antara yang hidup di lingkungan istana dan di jalanan. Jika yang berada di balik tembok istana aksen Inggrisnya begitu pelan dan tertata, jelas dan berkelas, tak demikian halnya dengan Arthur saat masih praraja dan teman-temannya, lebih bebas, slenge'an, dan lugas.
Di atas saya sudah membahas hal-hal yang menurut saya menarik dan merupakan poin plus bagi film ini. Baiklah, mari melihat dari sudut pandang yang menurut saya agak tidak masuk akal dan membuat film ini terasa rumit jika ditonton oleh under 17th. Yang pertama, ini adalah kisaran tak masuk akalnya. Mengapa Arthur kecil tidak dibunuh sekalian oleh sang paman yang kala itu sudah dikuasai napsu iblis untuk berkuasa? Memang, jawabannya sepele. Jika Arthur kecil dibunuh saat sang ayah berseteru dengan iblis jelmaan pamannya, maka ya sudah, tidak akan ada legenda King Arthur dan Excalibur yang paling tersohor itu. Tapi setidaknya bisa dibuat sedikit dramatislah kisah selamatnya Arthur kecil usai menyaksikan perseteruan ayah dan pamannya, entah itu usai diteriakkan "Run, Son!" Ia lantas diselamatkan dengan sedikit perkelahian antara penyihir baik dan sang paman, atau apalah gitu supaya ada aksi perlawanan, tak hanya terkesan lolos gampangan lantas di kemudian hari sang paman baru dipusingkan dengan kemungkinan munculnya sang raja sebenarnya. Ketidak masuk akalan yang kedua; dengan pasukan berjumlah ribuan, adalah aneh jika aroma pemberontakan yang hanya dilakukan oleh segelintir orang sulit terendus. Katakanlah memang aksi kudetanya underground, namun tetap janggal jika sebuah negara tak mampu mendeteksi keberadaan riak-riak kecil yang kemudian hari berubah menjadi percikan bahkan gelombang perlawanan paling meruntuhkan kekuasaan. Sementara itu, sedikit kekurangan fim ini hanya berasal dari alur penggeraknya. Film berdurasi kurang lebih dua jam ini mengadopsi alur campuran dengan kombinasi dialog disertai cuplilkan-cuplikan adegan imajiner yang pasti menimbulkan kebingungan penonton bawah umur.
Untuk nilai moral sendiri, saya mencatat beberapa poin:
1. Kekuasaan lalim yang menghalalkan segala cara cepat atau lambat pasti akan runtuh.
2. Penolakan dan pengkhianatan jika disikapi dengan baik merupakan salah satu guru paling sempurna yang mampu menempa pribadi menjadi lebih cermat, kuat, dan hebat.
3. Meski ditutupi bagaimanapun, kebenaran hakikatnya tetaplah kebenaran. Tak terbantahkan, tak terelakkan.
4. Kadang kita terpaksa menjalani hal yang paling tidak kita ingini karena tak kuasa melawan takdir, namun jika sudah demikian, apa boleh buat, lakukan dan jalanilah sebaik-baik hal yang dapat kita perbuat.
5. Percayalah pada kekuatan dan kemampuan diri sendiri meski kadang untuk memaksimalkan segala potensi itu kita perlu menaklukkan apapun yang menjadi kendala, termasuk kekerdilan diri sendiri.
6. Jadilah pemimpin yang mendengarkan.
7. Tetaplah bersetia pada siapapun yang sudah menjadi bagian dari tumbuh kembang.
8. (Ada yang mau menambahkan? Jika ada nanti akan saya beri nilai tambahan deh! Anggap saja kita sedang ulangan harian 😂😝)
Akhirnya saya rasa tak berlebihan jika usai menonton film ini serta merta saya memberikan standing applause (saya berani berbuat demikian karena ketika menonton posisi bangku saya adalah yang paling belakang; A 10. Jadi jika pun terkesan norak, hanya beberapa orang saja yang melihatnya, dan tentunya tak mengganggu pandangan penonton lainnya) Ujung cerita yang sungguh membuat lega dan berakhir bahagia. Jika di-ratting dengan bintang skala lima, hmmm... angkanya 4,5. Mengapa tak lima? Mengutip pernyataan salah seorang transgender paling sohor di Indonesia, kesempurnaan hanyalah milik Allah 😆
Usai menulis ini saya merasa semacam purna menyampaikan materi pelajaran pada kelas VII semester gasal dengan masih berpegang pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Dongeng, spesifikasi legenda dan relevansinya dengan kehidupan nyata. Hah! 😅
0 komentar:
Posting Komentar