tentang kisah dan jejak langkah

Selasa, 09 Mei 2017

PANGGIL AKU KARTINI SAJA; SEKILAS DALAM SINEMA


Menggetarkan menyaksikan slide diputar di layar lebar mempertontonkan gerak laku priyayi Jawa yang runduk takluk beringsut timpuh menghantar sembah. Tak berhenti sampai di situ manakala setting suasana sengaja dibangun sedemikian rupa oleh Hanung Bramantyo untuk membujuk indra pendengar pirsawannya benar-benar memasuki atmosfer Jawanisme dengan tembang dan langgamnya.

Sungguh, kisah salah seorang tokoh feminis Indonesia yang diangkat dari biografi guratan Pramoedya Ananta begitu mampu menawan mata. Sayangnya secara pribadi saya merasa penglihatan saya justru tertawan bukan oleh akting tokoh utama yang namanya sekaligus sebagai judul filmnya, Kartini. Saya malah terpukau pada pemeran empat tokoh lain yang rasanya sangkil dipilih oleh sang sutradara.

Pertama, sosok Trinil alias Kartini kecil yang sanggup menjerit menumpahkan emosi begitu lepas dan bebas seolah di sekitarnya tak ada kamera tengah "menggerayangi" lagak lagunya. Kemunculan Trinil kecil sukses membongkar laci-laci emosi di awal film. Jika hingga beranjak dewasa sang pemeran Trinil mampu mengasah bakat dan kemampuan dan bertahan di dunia seni peran, rasa-rasanya tak berlebihan ia akan menjadi the next super star. Kedua, tokoh ayahanda, Sang Bupati Jepara. Betapa citra berwibawa dititiskan dalam tubuh aktor senior Deddy Sutomo. Suara dan perawakan bapak tua nan tampan yang Puji Tuhan berumur panjang ini rasanya mangkus membangun karakter ayah sekaligus sahabat, juga bupati. Seluruh artikulasi, intonasi, mimik, dan kinesiknya rasanya pas, tidak berlebihan, tidak juga kekurangan, sesuai dengan yang digambarkan oleh Eyang Pram dalam 'Panggil Aku Kartini Saja'. Ketiga dan sebenarnya tidak perlu diragukan kemampuan berlakonnya, Christine Hakim. Senior yang satu ini memerankan Ngasirah, ibu dari Trinil alias Kartini. Dari ekspresi wajahnya saja ketika rahangnya menegang, belum lagi dera rasa dalam pandangan kosong dan nafas yang seolah berlomba melepaskan diri dari rongga dada sungguh membuat scene ibu dan anak bersetting danau menjadi salah satu yang paling favorit dan mengharu biru, syahdan di penghujung film saat air matanya berderai-derai dalam sujud dengan tangan berusaha menggapai sang buah cinta. Perasaan siapa tidak tergerus menyaksikan pemandangan semacam ini. Ya, ia berlakon dengan segenap hati, dengan segenap jiwanya. Tokoh keempat yg juga rasanya paling 'jahat' karena mampu menyandra ingatan saya dan membuat terkenang-kenang, terbayang-bayang wajah dan perilakunya adalah tokoh Pak Atmo. Batur pria yang setia. Sosok seperti kebanyakan orang Jawa pada umumnya yang sederhana, jujur, dan sangga sabda. Apapun perintah junjungannya, itulah yang mentah-mentah akan ditelannya. Wajahnya lugu dengan emosi seperlunya seperti tidak sedang berhadapan dengan kamera membuat saya lantas merasa harus berujar; "Pak Atmo, yang kamu lakukan ke saya itu, jahat!" 😭 (ditulis dengan ingatan pada salah satu kalimat fenomenal yang diucapkan Cinta pada Rangga dalam film AADC 2) Who are you, Mr Atmo? Saya tidak sempat membaca closing credit title hingga akhir untuk menemukan nama aslimu karena petugas keamanan bioskop sudah melirik saya yang tak kunjung beranjak dari deretan bangku ungu meski film sudah ditutup dengan soundtrack Memang Kenapa Bila Aku Perempuan oleh Melly Goeslaw.

Film ini berkarakter, hanya saja sedikit yang mengganggu telinga saya kala bilingual Jawa dan Indonesia yang dicampur aduk dan tak tepat dalam pengucapan. Bagi penonton non-Jawa, mungkin hal ini bukan menjadi masalah serius, tapi bagi pendengar dan penutur asli Jawa, maka lafal-lafal yang tak pas di telinga menjadi 'riak' kecil yang lumayan berarti. Belum lagi penggunaan strata bahasa antara inggil, madya, dan ngoko yang berusaha dipadu padan meski rasanya tetap terkesan sangat dipaksakan. Oh, ada yang keliru di akhir cerita. Untungnya hanya dituliskan sebagai pelengkap saja, tapi toh kekeliruan yang lumayan fatal karena menyangkut sejarah. Tentang beasiswa yang diperoleh Kartini lantas dihibahkan pada Haji Agus Salim. Beasiswa itu di situ tertulis jadi digunakan, namun sebenarnya menurut halaman 130 dalam Panggil Aku Kartini Saja, tiket emas pendidikan itu urung dimanfaatkan.

Benang merah juga tak kunjung saya temukan dalam film ini dengan roman Pram pada Tetralogi Pulau Buru. Bukankah semua itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain mengingat meski roman, namun genre tulisan Pram pada Tetralogi Pulau Buru yang menyinggung mengenai gadis Jepara adalah roman sejarah?! Apakah memang sejarah terpisah, atau saya yang terlalu mentah memamah sejarah? Jika dalam buku Jejak Langkah, kaum koloniallah yang bersuara paling nyaring menahan laju anak panah yang melesat dalam diri Kartini; Gadis Jepara itu harus 'dipadamkan' dengan cara dipaksa ke pelaminan, maka dalam film ini saya malah melihat upaya pengekangan kebebasan datang dari tradisi Jawa konservatif bangsawan pribumi sendiri yang meletakkan perspektif perempuan hanya dalam kisaran dapur, sumur, kasur (khusus perempuan keturunan ningrat hanya kasur), entahlah.

Secara umum film ini baik. Membuka cakrawala bagi yang buta dan hanya memandang sejarah feminis oleh perempuan yang lahir 100 tahun sebelum tahun kelahiran saya 😜 yakni pada 1883 ini berlangsung ala kadarnya. Ya dalam pelajaran sejarah di sekolah kita hanya tahu Habis Gelap Terbitlah Terang, juga korespondensi seorang priyayi perempuan belia dengan sahabatnya Stella di Negeri Belanda. Namun ternyata di balik itu, betapa orang masa kini lupa, pendidikan pada zaman dulu sangatlah mahal, bukan hanya dalam artian materi namun lebih pada kesempatan.

Sedikit mengenai DS sebagai pemeran utama, tampilan secara visual dia tetap istimewa, namun jujur, saya cukup terganggu mendengar di beberapa monolog maupun dialog, Mbak DS berujar dengan Bahasa Indonesia namun terkesan sedikit 'memaksa' untuk terdengar berlogat Jawa. Eh, tapi, bukankan ketika seorang perempuan terlahir jika ia dilengkapi kecantikan pada wajahnya separuh kesalahan dan kekurangan dalam hidupnya sudah diampuni oleh dunia?! Saya rasa saya pun yang juga perempuan tak bisa benar-benar objektif ketika memberikan penilaian terhadap Mbak DS. 😅
Share:

2 komentar:

Statistik Kunjungan

Arsip Blog

Recent Posts

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *