Setiap kali mendengar instrumental Kiss the Rain oleh Yiruma, pikiranku selalu melayang kembali pada suatu masa. Rasanya ada yang hilang, sepi, hampa, tapi kesepian dan hampa itu sendiri seolah menjanjikan sesuatu harapan yang memerdekakan. Tak percaya? Cobalah luangkan waktu untuk mendengarnya. Begitulah musik, ia semacam aroma, yang mampu melemparkan seseorang jauh melampaui batas waktu dan ruang.
Instrumental itu juga yang seketika muncul di benakku dan kupilih mengiringi slide obituarinya ketika pelantang huluku berdering nyaring pada Selasa petang, 13 Maret 2018. Penelepon itu tak lain adalah sahabatku yang juga pastor parokiku yang dengan nada suara tertahan, terkesan tersekat di tenggorokan mengabari ketiadaan beliau yang hampir tiga tahun belakangan menjadi sosok yang paling sering ku 'isengi' ketika bertemu di lingkungan gereja. Ya, dia adalah seorang yang kujuluki 'Belanda keras kepala!', seringkali pula aku menyapanya, 'Meneer'. Sosoknya yang dua tahun lalu 'pulang' ke rumah Bapa, Pastor Jeremias Melis, OFMCap.
Berbagai keisenganku itu mulai dari menarik dan menunjuk ujung jari-jemarinya yang kecoklatan dilekati nikotin dan sungguh kontras dengan kulit Eropa-nya (jika sudah begini beliau akan ganti menunjuk kulitku yang memang coklat khas kulit orang Jawa dan serta merta mengatakan, "Biar sama!"), atau melompat-lompat mengiringi jalannya (kadang di usiaku yang tak lagi muda, jika aku merasa dekat secara psikologis, aku akan bertingkah layaknya anak kecil di hadapan orang tersebut) ketika kira-kira setiap pukul 20.00 WIB beliau akan 'keluar kandang' berjalan-jalan kecil di halaman gereja setelah seharian masyuk di kamarnya dengan pekerjaan menerjemahkan berbagai naskah sosio budaya (jika sudah begini beliau akan pura-pura tidak melihatku meskipun berulang kali aku menghadang jalannya maka beliau akan diam dan menghadap ke arah berlawanan dari hadapanku, lantas melanjutkan aktivitas berjalan. Jika mengingat keisenganku yang ini, mataku seringkali gerimis), mengetuk pintu kamar kerjanyanya dan pada saat ia membuka pintu aku menutup muka dengan sekotak tar susu kesukaannya lalu segera menghambur pergi setelah sekotak tar susu itu telah digenggamnya lantas ia mengecup kotak berisi tar susu itu tanda ucapan terima kasih, atau… ketika aku seringkali memaksa mengajaknya berswafoto yang dibalas dengan gerakan ogah-ogahan namun tak pernah sekalipun beliau menolak.
Tiga hari sebelum tulisan ini kumulai, tepatnya pada 17 April 2020, pada malam ketika radu segala aktivitas seharian dan sebelum beristirahat, aku memeriksa perangkat komunikasiku. Membongkar galeri tempat penyimpanan video dan foto karena pada layar gawaiku sudah muncul notifikasi memori yang mulai penuh dan ini berarti harus ada minimal foto atau video yang kuhapus. Jemari dan mataku berhenti pada sebuah video lawas yang masih tersimpan. Kusentuh dan segera terdengar penggalan dentingan piano Yiruma, Kiss the Rain disertai gambar gerak suasana malam jenazah disemayamkan di Kapel Pastoran Singkawang. Ya, video itu aku sendiri yang merekamnya setelah ibadat malam menjelang esok pemakaman dan kala itu juga slide buatanku diputar untuk mengenang dia yang sudah berbaring dengan tenang berselimut kain putih bersih di hadapan seluruh pelayat yang hadir.
Beberapa teman mencoba menguatkan dengan mengelus pundak atau punggungku saat beberapa kali jenazahnya kuhampiri. Mereka sama berduka denganku. Di hadapannya, aku tidak menangis. Aku tidak mau menangis!
Aku mencoba meraba ingatanku, seketika laci-laci emosiku terbongkar, ada yang berlomba menyeruak, menyesaki kepala dan hati. Kulihat lagi jenazahnya yang pucat. Biasanya sebelum ia tiada, kulitnya yang Eropa memerah kala terpapar panas khatulistiwa. Kusentuh ujung jari kecoklatan bersalut nikotin itu sambil berbisik, "Hei, Meneer! Sekarang sudah tenang ya, bisa merokok tanpa mendengar omelanku. Dasar Belanda keras kepala! Bahagia di rumah Bapa, ya!" Selebihnya aku hanya bisa melangitkan doa ala kadarnya. Hatiku mulai tak kuat, aku membalikkan badan.
Beringsut ke pojok kapel. Aku menyibukkan diri mempersiapkan komputer jinjing yang akan memutar slide-slide semasa hidupnya yang sudah kupersiapkan sesuai pesanan pastor paroki pada saat mengabarkan berita duka tentang kepergiannya sekaligus memintaku membuat slide untuk mengenangnya. Aku memang banyak menyimpan foto Meneer Belanda satu ini. Kadangkala foto-foto itu kuambil tanpa sepengetahuannya, ada juga yang merupakan karya teman yang juga sesama pengabadi gambar, dan tak lupa foto-foto hasil memaksa ia untuk swafoto bersama.
Pada menit-menit ketika mempersiapkan pemutaran slide aku masih kuat. Aku juga cukup tenang ketika para pelayat kulihat mencoba menempatkan dirinya masing-masing pada posisi duduk paling nyaman. Beberapa menit berselang. Jariku menyentuh perintah slide show. Dentingan Kiss the Rain mulai menggema di kapel maupun area halaman kapel. Saat itu juga hatiku runtuh. Aku semakin beringsut mundur beberapa jarak ke sudut kiri depan kapel. Hanya ada tiga orang termasuk aku di pojok itu, dua lainnya fokus melihat tayangan pada layar.
Aku melantai, mendekap lutut dan menenggelamkan wajahku di antaranya. Aku kalah, Meneer, aku menangis. Aku membayangkan wajahmu andai saja kau ada di situ di dekatku. Kemungkinannya hanya ada dua. Pertama kau akan diam saja sambil memandang dengan tatapan iba, kemungkinan kedua kau akan memandang sebentar lantas berlalu, tak peduli apa. Kemungkinan kedua memang menyebalkan, tapi itu yang paling mungkin kau lakukan, karena setahuku begitulah sikapmu menghadapi keisenganku yang tiada tara. Tapi sungguh, kali itu aku menangis bukan karena aku sedang iseng berpura-pura menggoda. Ketahuilah, aku sangat berduka!
Kusimpan tangisku dalam diam, kubiarkan lelehan air mata menggelincir dari netra juga dalam diam. Aku tidak tersedu. Tapi kurasa tangis jenis itu jauh lebih sembilu. Kiss the Rain Yiruma sengaja kuatur terlantun dua kali. 2 kali 4 menit 20 detik dan memuat setidaknya 50-an fotomu dari berbagai sudut dan peristiwa. Ketika memasuki 4 menit 20 detik kedua, aku rasa aku cukup kuat. Kuusap mataku yang sembab. Aku lantas berdiri meraih alat komunikasi, memilih aplikasi kamera dan menyeting tangkap gambar dalam rupa gerak dan suara. Jadilah rekaman video yang pada 17 April 2020 lalu menarik ingatan seluruh aku pada malam itu. Malam dimana aku menangisi kepergian salah satu sahabatku.
Dalam hidup aku mengalami beberapa peristiwa yang rasanya cukup menguras kekuatan hatiku sebagai seorang manusia. Cukup membuat batin menggeletar hebat meremangkan air mata. Sanggup menggerus keperkasaan jiwaku yang adalah seorang wanita. Ketegaranku luruh, menyuruk ke dasar bumi. Dan harus kuakui, kualami lagi dalam peristiwa kali ini. Menyedihkan ketika kau harus kehilangan salah seorang sahabat yang kau sayang. Karena jika kau menyayangi sesuatu, setiap kali bayangannya sirna dan berlalu, kau akan kehilangan sebagian dari dirimu.
Hari-hari setelah kepergiannya, setiap kali ada acara di gereja, rasanya ada yang kurang, ada yang hilang. Memang dia adalah sosok yang tak suka pesta. Tak suka tak berarti antipati. Sebelumnya dalam berbagai perayaan dia tetap ada meski terkadang hanya beberapa menit saja dan hampir selalu menempati posisi di bangku-bangku paling belakang. Bukankah dalam hidup kita juga memerlukan sosok-sosok semacam itu. Yang rela hanya berdiam di belakang menjadi penonton yang tak banyak berkomentar dan yang tak hendak menjadi pusat perhatian. Bayangkan saja jika semua manusia inginnya bersuara, inginnya didengar, dan inginnya menjadi pusat perhatian, betapa bising dan sengkarutnya dunia. Namun demikian bukan berarti sosoknya yang acapkali menempati posisi di bagian belakang lantas tak diperhatikan. Sadar atau tidak, seorang biarawan atau biarawati dalam berbagai kondisi mereka tetap menjadi penjuru perhatian. Apalagi si Eropa yang satu ini. Dalam sebuah perbincangan dia pernah berseloroh bahwasanya manusia sejenis dia seharusnya dilestarikan, karena kini hanya bisa dihitung dengan jari misionaris asal Eropa yang masih eksis di Indonesia. Anda tahu jawabanku saat itu. Cukup kurang ajar memang, tapi aku yakin dia tidak tersinggung. Aku menjawab, "Huh, memangnya hewan langka, pakai acara dilestarikan segala!"
Dua tahun sudah berlalu setelah kepergiannya. Dua kali tiga ratus enam puluh lima hari plus satu karena tahun ini adalah tahun kabisat! Beberapa kali menyambangi ia di 'rumah' barunya. Rumah baru yang sesuai keinginannya. Rumah baru yang sederhana bersebelahan dengan kapel kecil permintaannya yang untung saja masih sempat terselenggara. Berbeda dengan inginnya tentang kamar-kamar perawatan kesehatan Kapusin usia rembang petang di pastoran yang sesuai standar rumah sakit, yang hingga dua tahun ketiadaannya pun masih tiada.
Yang ada padaku kini hanya buku-buku sosio budaya terjemahannya yang selalu kupercaya akan menjadi sumbangan pada kemanusiaan berupa catatan sejarah dan fakta, potret-potretnya, lima puluh dua menit rekaman suara saat ia kuwawancara, beberapa pesan singkatnya, diska lepas dengan gantungan berwarna oranye, merah putih, biru khas negerinya, dan tentunya ingatan kenangan tentang seorang sahabat.
Kini, menjelang 24 April peringatan 82 tahun usianya jika saja ia masih ada di dunia, Instrumental Kiss the Rain dari Yiruma kuputar ulang.
Air mataku berlinang, dukaku menggenang.