Masih perlukan rasa cinta diutarakan ketika dengan tindakan semua rasanya sudah terwakilkan. Masih perlukah? Sebuah pertanyaan yang selalu mengikuti kemana pun kakiku melangkah.
Aku mengenalnya bukan secara tak sengaja. Malah lebih pada sebuah proses yang semula kujalani dengan sedikit terpaksa. Hanya sedikit terpaksa. Ketika pada suatu petang aku menerima pesan singkat berisi undangan rapat kecil penerbitan sebuah media cetak yang tak pernah kusangka menjadi sebuah langkah bersejarah yang mengantarkanku bertemu dan merasakan ‘sesuatu’ yang istimewa pada sosok itu.
“Mohon kiranya dapat hadir mewakili saya dalam pertemuan pembentukan pengurus majalah *paroki,” demikian isi pesan singkat kuterima dari seorang sahabat yang pada awalnya membuat hatiku berbunga-bunga. Saat itu yang terbersit dalam pikiranku adalah kesibukan di balik layar berisi sepak terjang menghadirkan media cetak yang akan sampai ke tangan-tangan pembacanya. Aku memang sungguh tergila dengan dunia media, dunia kuli tinta. Dunia yang habis-habisan kusetubuhi beberapa tahun menjelang akhir masa perkuliahan strata satuku kutuntaskan.
Dulu aku memang seorang mahasiswa perantau yang padaku tersemat kebebasan penuh, kemerdekaan utuh. Kukatakan demikian, tak lain karena ketika menjadi sosok mahasiswa perantau, maka hari-hariku terlepas dari pantauan orang tuaku yang masih mutlak memandang secara konservatif tentang perspektif dunia perempuan. Yang harus selalu feminim, lepas petang tak lagi sibuk berkeliaran, yang sebisa mungkin menghindar dari hiruk pikuk keramaian dunia lelaki.
Dunia jurnalistik secara generalisasi, kehidupan wartawan memang identik dengan dunia lelaki. Apalagi jika media tersebut adalah media cetak harian. Mengejar berita, mengejar narasumber, deadline pukul sekian karena harus mengalami proses penyuntingan, pe-layout-an, dan naik cetak sebelum dini hari menjelang, mengharuskan seorang wartawan berjibaku dengan waktu demi menghadirkan berita dan wacana yang bermutu. Ya, itu dulu ketika di masa-masa akhir perkuliahanku sebuah media cetak di kota pelajar itu menerima lamaran kerjaku.
Lepas masa kuliah, panggilan pulang ke tanah kelahiran tak dapat kutentang. Apa kiranya jawabmu ketika rahim yang sudah mengandung dan bertaruh nyawa melahirkanmu ke dunia sungguh-sungguh memohon kepulanganmu untuk menemani masa tuanya. Kupastikan jawabmu adalah: “Ya, aku akan pulang!”
Praktis, sejak itu kulepaskan impian masa mudaku. Aku berdamai dengan keadaan. Melamar pekerjaan yang jauh dari cita-cita dan impian, lantas bekerja hanya dengan setengah hati karena yang setengahnya lagi tak sengaja tertinggal di cangkir-cangkir kopi yang kuhabiskan pada malam-malam di dunia kepenulisan.
Lima tahun berselang semenjak aku pulang kandang, menjalani profesi yang sama sekali tak kucintai. Hingga menjelang petang itu kuterima pesan singkat penawaran membantu penerbitan media agar aku terlibat.
Wajah-wajah asing kutemui. Karakter-karakter baru kujumpai. Aku tak banyak cakap. Aku diam mempelajari keadaan, aku diam menyelami jiwa-jiwa dalam setiap perkataan. Entah melalui pertimbangan apa seketika membuat mereka dengan tegas memintaku menjadi pemimpin redaksi majalah paroki. Padahal satu kalimat pun tak terucap dari bibirku yang mengatakan aku pernah bergelut di dunia wartawan. Mungkin mereka tertipu penampilanku yang saat itu agaknya mengesankan, mungkin juga sebelumnya mereka sudah mendengar perihal pekerjaaanku tempo lalu yang dipromosikan agak berlebihan. Hmm… jika kutimbang-timbang, rasanya ini sebuah tawaran yang cukup menantang. Ketika di tempo lalu saat kugeluti dunia kepenulisan, aku hanya berperan sebagai wartawan. Wartawati kata orang, karena aku adalah perempuan. Namun aku sendiri lebih berkenan disebut wartawan. Toh embel-embel akhiran -wan atau -wati itu hanya merujuk pada jender yang pada kenyataanya memberikan perbedaan perlakuan: perempuan harus mendapat keutamaan. Namun bagiku sama sajalah, harusnya tak perlu dibeda-bedakan. Kuanggap sebutan itu hanya kekurangkerjaan bahasa Indonesia dalam membedakan. Profesi dan pekerjaannya sama saja bukan? Jurnalis yang menulis!
Kuterima tantangan itu di hadapan mereka yang benar-benar baru kukenal di ruang dan waktu bersamaan. Selebihnya, jutaan pertanyaan mulai bermunculan dalam kepala, namun ya sudah, kunikmati saja meski dengan sedikit terpaksa. Sejujurnya aku tak suka menjadi pemimpin. Untuk jiwaku yang terlanjur tercipta dan jatuh cinta pada kebebasan, lebih nikmat rasanya jika sekadar menjadi bawahan. Bisa melawan, boleh slengekan, tak berdosa jika sedikit mangkir dari aturan. Namun kenyataannya kurasa semua orang ingin naik kelas. Mencoba dan mempelajari hal baru yang pada akhirnya akan menjadi kisah masa lalu. Sejak detik itu, sebuah tanggung jawab besar kurasa mengambruki kepala dan pundakku.
Hari-hari berikutnya tenaga dan pikiranku tercurah melimpah demi terbitnya media pewartaan paroki. Endapan magma kata-kata yang bertahun tertawan dalam pikiran seolah kumuntahkan, berhasil kuluahkan. Aku seperti bertemu dengan muaraku. Mengalir deras, lepas bebas, menemukan kemerdekaan yang selama ini sempat tertahan. Satu kutipan dari tulisan Eyang Pramoedya Ananta Toer, penulis favoritku yang selalu kuingat ketika aku harus menghasilkan sebuah tulisan, “Mengerti betul bagaimana kerja menulis. Orang memeras semua yang ada dalam hatinya, tanpa bercadang.” Itu pula yang selalu kuterapkan saat menghasilkan tulisan. Aku ingin tulisanku berjiwa. Menyentuh, mengetuk, bahkan menggedor hati pembacanya melalui kata-kata yang di dalamnya seolah telah kutiupkan nyawa.
Suatu kebetulan yang menyenangkan berada di posisi sebagai pemimpin redaksi. Aku bebas menentukan rubrik yang menjadi konten dalam media pewartaan paroki. Di samping itu aku bebas pula memilih, konten mana yang mengharuskanku turun langsung membidani lahirnya tulisan dengan pikiran dan tanganku. Di antaranya adalah rubrik sosok yang berisi kupasan profil tokoh seputar gereja. Aku menetapkan rubrik itu ada karena sejujurnya aku sendiri ingin menyelami kehidupan pribadi biarawan biarawati Katolik dalam ‘penjara duniawi’. Kunamai penjara duniawi karena mereka tegas harus berbatas pada beberapa hal yang jelas pantang untuk mereka terabas. Pernikahan misalnya. Betapa di mata awam yang tak mengalami ‘panggilan’ batasan mengenai larangan menjalani pernikahan menjadi semacam penyiksaan. Betapa semua manusia yang sudah mengalami akil balig memiliki napsu yang butuh untuk disalurkan. Dan betapa kosongnya jiwa manusia tanpa sosok lain yang menjadi teman hidup seperjalanan. Ah, rasanya ribuan pertanyaan seputar kehidupan harian mereka berpacu di kepala untuk segera menemukan jawabannya.
Dalam edisi satu, dua, …, lima, delapan, dan seterusnya, kehidupan pribadi biarawan biarawati sudah berhasil kugali, kukenali, kukuliti. Tiba saatnya aku harus menjumpai sosoknya. Sosok seorang pastor yang sejak pertama kukenal terkesan jenaka sekaligus berwibawa. Sulit memiliki pribadi sepertinya. Menyeimbangkan dua hal bertentangan semacam langit dan bumi, utara dan selatan, jenaka dan berwibawa. Ia pandai bertutur kata, bahasanya sederhana namun sungguh menenangkan jiwa. Pandangan matanya teduh, kurasa sanggup membuat amarah menjadi luluh. Brengsek! Mata itu kini mau tak mau harus beradu denganku.
“Selamat malam, Pastor. Mohon maaf dan mohon izin, saya mengganggu waktunya Pastor,” ketikku pada aplikasi pesan singkat itu.
Tak butuh menunggu lama, pesan singkatku dibaca dan dibalasnya.
“Selamat malam, Mbak. Ada apa kiranya hingga malam-malam begini saya dichat mbak wartawati?”
Batinku berujar, “Tahukah Pastor, sebutan itu sungguh-sungguh menyebalkan!”
“Jika berkenan dan tidak mengganggu, bolehkan saya menelepon, Pastor?” ketikku kemudian.
“Silakan Mbak. Saya sedang tidak ada kesibukan kok.”
Janji temu kami lakukan. Di suatu malam yang tenang, aku berhadap-hadapan dengan tatapan itu. Berbicara dengan membubuhkan sedikit basa-basi, menyelami kehidupannya secara pribadi, hingga kuketahui aktivitasnya sehari-hari. Tiba di satu titik, mata kami beradu. Beberapa detik tatapan itu mampu membuat lidahku kelu. Harus kuakui ada dua hal dari lawan jenis yang seketika sanggup meruntuhkan dinding keperkasaanku sebagai seorang perempuan: tatapan dan kecerdasan. Bukan tatapan yang sembarangan. Tatapan yang aku pun tak tahu bagaimana menerjemahkan esensi di balik itu. Berangsur beberapa jenak, kami tersadar. Lantas berlomba saling membuang muka. Dalam kurun waktu itu juga kurasa kehilangan konsentrasi mewawancarai.
Rasanya aku tak ingin terlalu lama berhadap-hadapan dengannya karena di balik jubah yang dikenakannya saat wawancara ada *kaul, ada janji besar yang harus ditepati, harus dipatuhi. Kaul dan janji tentang kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Kaul kemiskinan, tak terikat dengan harta duniawi. Kaul ketaatan, ia harus taat pada paus, pemimpin tertinggi gereja Katolik Roma dan juga taat pada pemimpin *ordonya. Kaul kemurnian, ia tidak boleh menikah dan hidup *selibat. Sementara terkadang sebagai manusia normal, kita tak dapat menghindar dari *debu-debu cinta yang beterbangan.
Aku bernapas lega kala wawancara mencapai titik selesainya. Tanpa banyak basa basi, kutinggalkan sosok itu dengan tidak sedikit pun membalikkan punggungku. Sejak malam itu, hal paling kukhawatirkan adalah kembali beradu dengan pandangan itu. Sungguh aku tak ingin menjadi tuba bagi gereja, aku tak ingin mengganggu kaul kekal itu, aku tak ingin menjadi penggoda yang mungkin saja menyeretnya ke dalam dosa.
Penuh-penuh kukerahkan kekuatanku membangun benteng pertahanan bagi perasaan yang kian hari kurasa kian bermekaran. Apa daya, semakin kulawan semakin muncul penuh kekuatan. Apalagi sosoknya masih sering kujumpai, dalam rapat redaksi, dalam lingkungan di paroki, dalam aktivitas sehari-hari. Kurasa aku harus mengubah strategi, aku harus berdamai dengan diri sendiri.
Kujadikan sosoknya sebagai sahabat akrab meski hampir dalam setiap pertemuan aku selalu menghindar untuk menatap. Pada sosoknya, aku banyak bercerita. Membagi berbagai kisah dan pengalaman, menggali berbagai pengetahuan yang ternyata ia seperti sebuah telaga yang mampu menuntaskan dahaga keingintahuanku tentang banyak perkara. Satu lagi kelebihan yang ia miliki, kecerdasan yang sangat tinggi. Ah, dua nilai mutlak ada padanya yang membuat hatiku takluk dengan telak; tatapan dan kecerdasan.
Hari bersamanya semakin bertambah, meski strategi sudah kuubah, tetap saja kurasakan ada yang salah. Rasa itu ternyata pantang sekali untuk enyah. Apalagi yang harus kulakukan, Pastor? Rasanya tak adil jika hanya aku yang merasakan gejolaknya. Betapa malam-malamku selalu terganggu oleh sosokmu yang kuhidupkan dalam lamunanku, yang celakanya selalu tak tahu diri dengan iseng menggambar bayangamu dalam mimpi. Bahkan dalam waktu rehatku pun sosokmu mampu mendominasi.
Kadang muncul pertanyaan dalam batinku, “Pastor, pada tubuhkukah rusukmu yang hilang itu?” Aku mencoba menerka dari sudut pandang agama yang menyatakan bahwa Hawa tercipta dari rusuk Adam. Bukankah jika merujuk pada ayat kitab suci itu semua lelaki diciptakan memiliki pasangan? Mungkinkah alasan hingga kini aku pun belum berpasangan disebabkan oleh pemilik rusukku sudah terlebih dahulu memilih jalan totalitas panggilan pelayanan iman? Yang kutahu dan kukenali diriku sendiri memang tidak pernah begitu mudah jatuh cinta. Ketika aku mulai jatuh cinta, terlalu banyak hal yang harus kupertimbangkan dan kuseimbangkan secara logika. Namun mengapa hal ini tak berlaku ketika aku dihadapkan pada sosok itu yang jelas-jelas harus memberi jarak dengan tegas. Pastor, tahukah kau aku benar-benar tersiksa oleh perasaan yang ada. Aku harus bicara padamu, minimal kau harus tahu. Perkara apapun nanti reaksimu, akan kupertimbangkan spekulasi itu.
Kukumpulkan kepingan keberanian yang terserak di dasar hati. Melalui sambungan telepon, ia lantas kuhubungi.
“Halo, selamat siang, Pastor. Mohon maaf saya mengganggu,” ujarku dengan suara setengah tersekat.
“Halo, selamat siang juga Mbak. Tidak apa-apa, tidak mengganggu. Ada yang bisa saya bantu?” Jawab suara teduh itu.
“Boleh kita bertemu Pastor? Ada sedikit permasalahan yang ingin saya bicarakan. Apakah Pastor punya waktu luang? Sesempatnya Pastor saja, jangan sampai mengganggu aktivitasnya,” lanjutku kemudian.
“Boleh-boleh saja Mbak. Sebisa mungkin saya bantu jika ada yang pelik dan bisa saya berikan solusinya,” ujarnya.
Sore itu aku memacu kendaraanku ke arah gereja. Kutatap tubuh tegap yang keluar dari pintu bangunan pastoran yang masih berada satu area dengan gereja. Langkahnya ringan, raut wajahnya tenang. Sungguh berbanding terbalik dengan kegusaran yang seolah selalu kubawa dalam genggaman. Kegusaran yang tak kunjung berhasil kuredakan.
“Selamat sore, Mbak,” sapanya ramah.
“Sore, Pastor. Kita bicara di sini saja ya, supaya tidak menimbulkan pandangan sumbang dari orang-orang,” jawabku sembari mengarahkan tatapan ke tempat duduk semen di bawah pohon rindang tepat di halaman gereja.
“Boleh-boleh, kok kesannya terburu-buru dan tegang, Mbak?” sautnya. Ditanya demikian, aku hanya menunduk.
Kami duduk berdampingan, berjarak kira-kira tiga jengkal. Aku masih tak bernyali menatap lekat sepasang mata lelaki yang telah membuatku jatuh hati.
“Pastor, apakah berdosa jika saya mencintai seseorang?”
“Wah ya ndak, Mbak. Mencintai itu bukan perbuatan dosa. Lha wong Tuhan sendiri yang menanamkan rasa itu di setiap manusia kok,” jawabannya sedikit menenangkan hatiku.
“Meskipun rasa itu tumbuh pada orang yang tidak tepat?”
“Ya. Asal kita bisa mengontrolnya. Misal, jika Mbak mencintai orang yang sudah memiliki pasangan yang sah di mata agama, sudah terikat pernikahan. Sepanjang hanya dirasakan saja tanpa berkeinginan untuk memiliki orang tersebut, ya bukan dosa. Boleh saya tahu siapa sosok beruntung yang membuat Mbak *gandrung wuyung?”
Mataku mulai berkaca-kaca.
“Pastor, saya sudah berusaha membunuh rasa itu. tapi saya selalu gagal. Saya jatuh hati pada, Pastor,” tangisku tak kuasa kutahan. Dia yang menjadi tujuan alamat kejujuranku bergeming.
“Mbak…,” hanya kata itu yang keluar dari bibirnya.
“Maafkan kelancangan saya, Pastor. Saya sudah sangat berusaha mengendalikan perasaan saya. Tapi semakin saya coba, saya semakin tersiksa,” ungkapku makin terisak.
“Mbak yang tenang ya hatinya. Saya bisa memahami yang Mbak rasakan,” jawabnya kemudian.
“Saya sudah sangat berusaha menekannya, Pastor. Saya anggap Pastor sebagai sahabat, saya berusaha benar-benar bertingkah sewajarnya ketika kita bertemu. Tapi saya selalu merasa desiran itu tidak pernah kunjung menyingkir. Pastor, saya benar-benar tersiksa. Saya pikir jika saya mengungkapkan apa yang saya rasa kepada Pastor, saya akan jauh lebih lega. Saya tidak peduli jawaban Pastor apa. Mungkin ini pengakuan yang sangat memalukan, tapi saya yakin Pastor akan dapat memahami dan bisa merahasiakannya,” ujarku melepaskan belenggu perasaan.
Ia diam sejenak. Sempat kulihat dari ekor mata beberapa kali ia mengangguk kecil, mencerna berondongan pernyataan jujur yang keluar dari mulutku.
“Mbak, yang tenang ya…. Saya benar-benar bisa memahami perasaan Mbak. Bagaimana jika ternyata saya merasakan hal serupa? Sebagai manusia biasa saya juga dibekali perasaan tertarik pada lawan jenis. Jika saya boleh jujur, saya pun merasakan kegelisahan yang sama dengan yang Mbak rasakan. Seringkali dalam sunyi saya merasa batin saya ada yang memanggil, dan setiap kali kita bertemu, saya seperti mendapat energi baru. Hidup saya terasa lebih berwarna. Sebenarnya setiap kali kita bertemu atau ketika perasaan saya diliputi rindu, getaran itu kerap kali mengganggu namun terus terang saya sangat menikmati itu. Jika sampai pada titik itu, saya merasa sisi manusiawi saya sedang mencoba jujur pada diri sendiri. Apa Mbak ingat pernah suatu ketika saya menemani Mbak untuk bertemu dengan pastor lain untuk melakukan wawancara, dan saat itu kita saling memandang? Pada saat itu saya begitu bahagia meskipun kita tidak banyak bicara. Ingin sekali rasanya berdekatan lebih lama, tapi saya berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja. Saya berusaha menekan perasaan,” tuturnya yang seketika membuatku memiliki keberanian mengangkat wajahku yang semenjak tadi tertunduk. Lebih dari itu, kali ini aku seperti memiliki kekuatan yang menggerakkan hatiku untuk mampu menatap sepasang mata itu. Lekat-lekat kulihat wajahnya,
“Pastor…. Apa saya tidak salah mendengar yang barusan Pastor ucapkan?” ujarku dengan perasaan yang mulai meledak bahagia.
“Ya, Mbak. Mbak tidak salah mendengar apa yang barusan saya sampaikan. Saya juga memiliki perasaan serupa dengan dengan yang Mbak rasakan.”
Kurasakan air mataku semakin deras mengalir,
“Ya Tuhan…. Saya bahagia sekali, Pastor!” kali ini tangisku disertai senyuman yang tak dapat kutahan.
“Hanya saja Mbak, Mbak tentu sangat paham dengan posisi saya. Di satu sisi cinta yang tertanam dalam hati rasanya ingin memiliki, tapi di sisi lain cinta itu juga harus berani merelakan. Di sisi inilah saya harus berani mengorbankan satu rasa untuk memiliki sekaligus harus berani merelakan demi nilai lain. Walaupun dengan berat hati. Sejujurnya saya juga merasakan dilema antara janji kesetiaan panggilan imamat saya dan rasa cinta yang saya rasakan terhadap Mbak. Tapi setidaknya kita sama, Mbak jujur tentang apa yang Mbak rasakan terhadap saya, dan kejujuran saya terhadap diri sendiri juga membuat saya sedikit lebih plong, lebih lega,” runtutnya yang semakin membuat senyumku mengembang.
Beberapa detik kami sama terdiam. Kami saling menyelami perasaan satu sama lain. Saling mengobati dengan kejujuran yang kurasa sangat manusiawi. Merasakan bahagia meski sadar ada batasan yang sungguh tak bisa kami sebrangi. Tak mengapa, cukuplah berhenti pada kejujuran yang kurasa mangkus sebagai pengobatan. Sejurus kemudian, ia meraih telapak tanganku dan menggenggamnya dengan lembut. Tuhan, aku bahagia tapi sekaligus merasakan dilema.
Hari-hari berikutnya adalah hari-hari paling membahagiakan buatku dan buatnya. Meski hanya sekadar saling menatap saja, setidaknya kami tahu, kami memiliki perasaan yang sama. Cinta. Ya, cinta!
Dua minggu berselang sejak kejujuran perasaan saling kami utarakan. Aku menerima pesan singkat dari *koster gereja.
“Mbak, ada titipan dari pastor buat Mbak. Silakan diambil di sekretariat ya,” begitu isi pesan singkat itu.
Sore menjelang petang kubuka bingkisan kecil berwarna senja darinya yang kuambil dari sekretariat paroki. Hatiku diliputi tanda tanya. Kubuka, berisi sebuah *rosario dan sepucuk surat tulisan tangannya.
“Mbak, saat surat ini berada di tangan Mbak, saya sedang berada di langit Eropa. Saya mendapat surat pengutusan dari pimpinan yang menugaskan saya ke Roma untuk jangka waktu yang cukup lama. Jaga diri dan hatinya baik-baik. Mohon maaf saya tidak langsung menghubungi Mbak untuk memberi kabar. Hati saya tidak sanggup untuk menyakiti Mbak dengan kabar kepergian saya. Biarlah elegi rindu menyakitkan ini saya nikmati sekali lagi. Saya pamit, Mbak. Doakan saya dengan tugas baru di Roma. Akan saya simpan baik-baik anugerah perasaan cinta yang sama-sama kita rasa. Jika rindu mengganggu, genggamlah rosario ini, langitkanlah doa, saya yakin, kita akan bertemu di amin yang sama.”
Kugenggam surat itu. Tuhan, seberat inikah mencintainya. Baru saja kurasakan bahagia meski dengan gradasi dilema, kini hatiku harus kembali membuncah, terserak diretas oleh jarak.
Catatan Kaki
*Debu-debu cinta yang beterbangan: ditulis dengan ingatan pada judul novel Achdiat Karta Mihardja, Debu Cinta Bertebaran.
*Paroki: adalah komunitas kaum beriman yang dibentuk secara tetap dengan batas-batas kewilayahan tertentu dalam keuskupan.
*kaul: adalah janji yang diucapkan oleh seorang anggota religius.
*ordo: perserikatan keagamaan yg diakui oleh paus dan yang anggotanya hidup sesuai dengan aturan dan hukum gereja (tarekat biarawan).
*selibat: (dari bahasa Latin caelibatus) adalah keadaan tidak menikah secara sukarela, berpantang secara seksual, atau keduanya, biasanya karena alasan agama. Selibat sering dikaitkan dengan peran seorang pemuka agama.
*gandrung wuyung: berasal dari bahasa Sansekerta yang jamak digunakan oleh masyarakat Jawa dan Sunda yang berarti jatuh cinta.
*koster: seorang petugas yang bertanggung jawab mengurus bangunan gereja dan segenap isinya.
*rosario: alat yang digunakan ketika sedang berdoa oleh orang Katolik yang berbentuk seperti kalung, umumnya terbuat dari manik-manik yang dirangkai.
*Cerpen dimuat dalam buku NOCTURNO: Kisah Perjalanan Panjang Malam-malam Katresnan Ing Kasunyatan karya Natalia Hesty Tri Handayani.