Hari Ini Tidak Ada Cinta karya Motinggo Busye. Lekat sekali dalam ingatan saya ketika saya dibuat tergila-gila pada kisah cinta Burhan dan Jeng Hertrikumolodewi yang berakhir sangat mengenaskan. Kisah dua insan yang dideskripsikan secara rinci, apik, dan dramatis ini juga yang pada akhirnya 'menyeret' saya untuk menimba ilmu di kota pelajar, Jogjakarta. Ya, semua semata-mata karena kisah cinta tragis dua insan tokoh utama novel itu memang ber-setting kota gudeg.
Tak sampai di situ, kisah pilu itu pula yang menarik jiwa dan raga saya untuk menelusuri setiap tempat yang menjadi latar novel yang habis dibaca sekali duduk itu. Sungguh, kala itu saya menjelma setara netizen era ini yang ke-kepo-annya luar biasa tak terbendung terhadap sesuatu yang menyita perhatian, perasaan, dan minatnya. Sebagai informasi tambahan, seluruh tempat yang menjadi latar dalam cerita itu benar-benar saya cari dan temukan. Benar adanya saya berinisiatif melakukan napak tilas jejak langkah kegundahgulanaan Burhan, sang tokoh utama dalam novel itu. Mulai dari gedung Kampus UGM, Rumah Sakit Bethesda, Kali Code, Jembatan Gondolayu yang secara geografis tepat berada di sisi barat Tugu Pal Putih simbol visual kebanggaan rakyat Hamengku Buwono, Masjid Syuhada, Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru, hingga rumah putih berpagar tinggi yang halamannya ditumbuhi pohon sawo, rumah di Jalan Nagan Kulon yang pada akhirnya menjadi saksi bisu pergolakan batin hingga berujung kematian mengenaskan tokoh Jeng Ri.
Lantas, apa kelanjutan setelah tempat-tempat dalam novel itu saya telusuri? Tiada lain jawabannya adalah kepuasan batin! Novel yang saya baca itu seolah memiliki daya magis yang menyihir saya hingga benar-benar terkesima lantas memutuskan menjatuhkan pilihan kepada Jogjakarta sebagai kota tempat saya meneruskan pendidikan jenjang perguruan tinggi Strata-1. Ah, betapa nasib dan takdir tiada seorang pun dapat memprediksinya. Bayangkan, hanya karena membaca sebuah kisah cinta dalam novel mampu membawa perubahan nasib saya, seorang pelajar SMA yang kala itu masih dilanda kebimbangan tentang pendidikan dan masa depan.
Sebenarnya selintas sejarah dua puluh tahun silam mengenai pemilihan Jogjakarta sebagai kota tempat saya berproses menjadi dewasa yang berawal dari ketertarikan setelah membaca Hari Ini Tidak Ada Cinta hanyalah sekelumit pengalaman batin yang langsung saya alami akibat aktivitas membaca yang belakangan lebih dieuforiakan sebagai gerakan literasi. Sungguh ada rasa iri pada generasi kini ketika saya mendapati kenyataan bahwasanya berbagai instansi terkait sebut saja Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Perpustakaan Daerah yang seolah berlomba-lomba dengan berbagai programnya menjemput bola ke lapangan; program perpustakaan keliling, digitalisasi literasi, penggelontoran dana dengan nominal bukan kaleng-kaleng demi pengadaan buku-buku bacaan, hingga menggelar berbagai lomba seputar dunia aksara dan kata seolah *'adu rayu' bagi generasi muda untuk menumbuhkan kecintaan pada literasi yang belakangan semakin berkembang dari segi pemaknaan dan juga cakupan bidang. Tentunya hal ini merupakan langkah serius pemerintah yang seolah baru tergerak nuraninya setelah berpuluh tahun lampau terlambat menanamkan kesadaran cinta membaca yang baru dirasakan dampaknya pada kenyataan "INDONESIA BERADA DI JAJARAN NEGARA YANG MENDUDUKI PERINGKAT TERBAWAH DENGAN TINGKAT LITERASI RENDAH". Miris.
Kembali ke rasa iri yang saya rasakan pada generasi kini yang seolah 'dicekoki' gerakan literasi namun sejurus kemudian gerakan itu kalah telak sekaligus kalah tenar dengan godaan sosial media berkedok aktualisasi yang pada akhirnya bermuara pada hiperrealitas pengemasan citra diri yang penuh pesona, provokatif, dan sarat daya tarik tetapi tak dapat dimungkiri semuanya itu hanya semu. Maafkan jika saya memberikan penilaian secara general, toh sudah mangkus terbukti bahwasanya negeri kita tercinta ini bersemat spesialisasi peraih peringkat buncit tingkat kemahiran membaca.
Pemerintah boleh saja berbangga mampu memberantas buta aksara, namun silakan diadu jika korelasinya dengan tingkat keterbacaan suatu wacana. Tak elok jika saya jauh-jauh membandingkan minat literasi generasi kini (dalam hal ini saya mengambil sampel peserta didik saya) dengan pelajar dari benua tetangga yang kebetulan bermitra dengan sekolah kami (FYI, sekolah tempat saya mengabdi dua belas tahun belakangan ini telah bermitra dengan salah satu sekolah di benua Australia). Saya cukup membandingkannya dengan tingkat minat membaca diri saya pribadi. Fun fact, novel Motinggo Busye yang panjang lebar saya jadikan prolog pada tulisan ini adalah hasil pinjaman sekaligus peralihan kepemilikan dengan jalan yang tidak halal. Ya, bahasa sederhananya saya mencurinya dari ruang perpustakaan sekolah saya kala saya duduk di bangku SMA. Ada alasan khusus yang saya anggap sebagai pembenaran dari perilaku minus saya pada saat itu. Saya sangat paham mencuri itu tindakan buruk, curang, lagi berdosa. Namun apa daya, saya yang kala itu adalah seorang pelajar yang senantiasa dahaga pada bacaan-bacaan khususnya sastra, menemukan fakta bahwasanya pada pojok kanan atas buku tertera "Milik Negara, Tidak Diperdagangkan." Jika saja buku terbitan Balai Pustaka yang berjudul Hari Ini Tidak Ada Cinta itu diperdagangkan seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya, tentu saja saya akan sangat legawa merogoh uang pada saku saya guna menebusnya. Salah satu sifat buruk saya adalah ketika saya sudah menyukai sesuatu, maka akan timbul keinginan memilikinya secara utuh. Orang-orang terdekat yang tahu kisah pencurian buku ini lantas menanyakan, "Mengapa harus mencuri, mengapa jika ingin memiliki tak difotokopi saja?" Jawaban saya hanyalah, "Terdapat kepuasan tersendiri ketika memiliki barang dalam bentuk asli, yang sejak pertama kali sudah membuat jatuh hati!" Oh iya, tidak berhenti sampai di situ, dua puluh tahun yang lalu, penjualan buku berupa lapak, toko buku yang sifatnya fisik maupun daring tak sesemarak sekarang. Apalagi untuk sekelas kota Singkawang, kota kecil tempat saya lahir, tumbuh, dan berdomisili yang bahkan pada era 2000'an masih harus mewujudkan mimpi menonton film-film layar lebar dan harus puas hanya dari CD bajakan, itu pun dengan kualitas audio visual paling minimal. Belanja online/daringlah untuk buku-buku yang diinginkan! Ah boro-boro saran tentang belanja online, mendengar kata internet saja pada masa itu tak pernah, memiliki pesawat telepon di rumah saja sudah identik dengan kehidupan mewah, betapa berbeda jauh dengan keadaan sekarang, yang segalanya serba mudah dan murah, segalanya dapat diatur hanya dalam genggaman. Seperti telah saya jabarkan tadi, generasi kini bahkan seolah diimingi dengan besaran nominal jutaan rupiah yang menjadi 'umpan' hanya demi menggeluti sebuah hobi atas nama 'literasi'. Hasilnya? Berdasar survei berbagai lembaga masih mendaulat republik ini menjadi juru kunci peringkat akhir literasi. Seperti halnya buah yang matang secara karbitan, kegemaran membaca pun kecil kemungkinan mendulang kesuksesan jika usaha penanaman kesadaran dilakukan dengan penuh paksaan. Bisa ditebak, hasil akhir yang didapat hanyalah sebuah keterpaksaan. Ada yang bilang ala bisa karena biasa, ala bisa karena dipaksa. Bisa karena biasa adalah sesuatu paling masuk akal, sebaliknya, bisa karena dipaksa?! Percayalah, sesuatu yang berangkat dari keterpaksaan hasil akhir yang didapat biasanya mengecewakan.
Sedikit saran yang mungkin mampu menjadi refleksi bagi masyarakat awam tentang bagaimana menumbuhkan minat terhadap aktivitas membaca adalah sentuhan sejak dini dari lingkungan terdekat anak. Masih demikian segar dalam ingatan saya ketika orang tua saya yang suatu kebetulan yang menyenangkan berprofesi sebagai guru, kerap kali membawakan 'oleh-oleh' untuk saya sepulang beliau bekerja berupa buku. Dulu, ketika TK dan SD, saya selalu bersemangat menyongsong kepulangan beliau usai bekerja dengan serta merta menyerbu bak depan motor butut vespa beliau hanya demi segera mengetahui, apa judul buku hari ini yang menjadi buah tangan. Usai mendapat yang saya inginkan, maka sesegera itu saya akan berasyik masyuk dengan bacaan. Ada kemungkinan di masa itu orang tua saya sudah memiliki pemahaman bahwasanya hobi membaca yang dipupuk sejak usia dini merupakan investasi jangka panjang yang tentunya akan berbuah di kemudian atau tak perlulah berspekulasi sampai sejauh itu, mungkin saja oarang tua saya hanya sekadar 'menularkan' hobi dan kesukaannya membaca, mengingat hingga memasuki masa purnatugas, rutinitas membaca masih sering dilakukan oleh beliau meski bacaannya hanya itu-itu saja dan dibaca berulang-ulang (bukankah sebuah bacaan yang baik mampu menyuguhkan hal baru setiap pembaca mengulang membacanya, bisa jadi interpretasi pembaca dalam memandang isi bacaan akan berbeda sesuai perkembangan usia dan matangnya pola berpikir dan juga pengalaman hidup). Saya ingat kala itu saya duduk di bangku kelas dua sekolah dasar ketika saya menanyakan apa arti kata bramacorah kepada bapak. Sedikit terperanjat bapak menanyakan dari mana saya mengetahui kata itu. Setelah saya menunjukkan kata itu tertera di buku bacaan yang beliau bawakan, maka dengan tenang beliau menjelaskan arti dari kata tersebut. Mengenang memori itu, saat ini saya berani bertaruh, anak sekolah dasar mana yang paham arti kata tersebut. Selain memang terdengar asing di telinga karena saat ini kosakata itu sudah jarang sekali digunakan, terdapat padanan kata lainnya dengan arti serupa yang jauh lebih akrab di telinga. Ya, itu baru satu kata, bayangkan berapa banyak buku yang menjejali hari-hari saya sejak dulu, berapa juta kosakata mengendap dalam kepala saya. Suatu fakta yang tak dapat saya mungkiri, saat itu saya tumbuh berbeda dari teman-teman sebaya saya. Minimal kosakata yang saya miliki jauh lebih beragam dari teman lainnya. Untuk urusan mengarang pada pelajaran bahasa Indonesia, saya bisa berkata, saya jagonya. Tak berlebihan rasanya ketika saya mengungkap hal tersebut. Faktanya, dari sekian teman seangkatan saat sekolah dasar, saya yang selalu diberi kepercayaan untuk mengikuti lomba mengarang maupun lomba ini dan itu, dan lain-lain, dan sebagainya. (Mohon dimaafkan kejemawaan kelas teri ini!) 😂😂😂
Fakta lain yang sebenarnya dapat dimanfaatkan pemerintah terkait sosialisasi gerakan literasi yang agak terlambat ini adalah kenyataan bahwasanya negeri ini tidak kekurangan idola kawula muda yang hampir setiap gerak-geriknya, lagu lagaknya akan diikuti, ditiru, dijadikan 'kiblat' model oleh para peminatnya, para fans garis kerasnya. Berangkat dari kenyataan ini, seharusnya instansi terkait peka, merekrut, dan memberdayakan potensi sumber daya idola ini untuk menarik minat generasi terhadap gerakan literasi. Jadikan para idola kawula muda ini sebagai duta-duta baca yang secara kontinu memberikan teladan, namun tentunya dengan catatan dan kenyataan bahwa minat baca para idola pun bukan sekadar abal-abal atau semata karena diangkat sebagai duta belaka. Percayalah, apa yang dilakukan oleh para idola kawula muda ini akan dianggap sebagai Sabda Pandita Ratu; pantang untuk ditentang, haram untuk tidak dilaksanakan.
Omong-omong, sedikit cerita soal buku Hari Ini Tidak Ada Cinta, hmm…, disebabkan kepemilikan buku itu melalui cara yang tak benar, maka saya juga harus mengikhlaskan kehilangan buku itu di kemudian. Kenyataannya ketika sampai di Jogja, buku itu dipinjam oleh seorang sahabat sepondokan (baca: kost) dan sudah beralih dari tangan ke tangan. Praktis, hingga hari terakhir saya meninggalkan Jogja, buku itu tidak pernah kembali ke tangan saya. Celakanya, hingga tulisan ini saya selesaikan, saya masih selalu memburu namun tidak kunjung berhasil memiliki buku itu lagi meski telah banyak menyinggahi lapak-lapak buku daring maupun toko buku konvensional. Yes, karma is real!
0 komentar:
Posting Komentar