BINGKISAN JINGGA DARI LANGIT EROPA
“Enyahlah dari pikiranku sebentar saja!” ungkap batinku yang mulai tersiksa. Gambaran sosok perempuan itu tanpa kusadari perlahan menguasai ruang hati dan pikiranku.
Kami pertama kali bertemu saat rapat redaksi pembentukan majalah pewartaan*paroki. Mungkin kesan pertama kali bertemu itu hanya berlaku buatku, karena menurut pengakuannya, ia sudah seringkali melihatku saat memimpin*misa di gereja tempat aku bertugas. Memang, sejak lima tahun bertugas di paroki, baru malam itu ia nyata berada di hadapanku. Ia tak banyak bicara kecuali saat seluruh anggota yang hadir pada rapat pembentukan majalah paroki menunjuknya menjadi pemimpin redaksi. Ya, sejak malam itu aku mulai intens memikirkannya. Aku dibuat penasaran pada pribadinya.
Hari-hari kulalui dengan segala rutinitas melayani umat. Aku memang selalu bersemangat menjalankan kewajibanku sebagai pastor. Inilah cita-citaku sejak dulu. Ayah dan ibuku pun menginginkan hal itu. Berbekal restu orang tua, usai menempuh pendidikan di *seminari tinggi, akhirnya aku ditahbiskan menjadi pastor yang harus patuh pada tiga *kaul, kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Kaul kemiskinan, aku tak boleh terikat dengan harta duniawi. Kaul ketaatan, aku harus taat pada paus, pemimpin tertinggi gereja Katolik Roma dan juga taat pada pemimpin *ordoku. Kaul kemurnian, aku tidak boleh menikah dan hidup *selibat. Tiga perkara yang mati-matian harus kusangkal dalam hidupku. Sebelum ditahbiskan menjadi pastor atau imam, tentu konsekuensi ketiga kaul itu sudah sangat kupahami dan ketika aku ditahbiskan, aku dalam kondisi sangat sadar, sehat jasmani dan rohani, hingga sebenarnya tidak ada alasan apapun untukku meragukan pilihan jalan hidup itu.
Bertahun-tahun aku menghayati panggilan hidupku. Rasanya tidak ada satu pun cobaan berarti ketika aku menghidupi panggilan ini. Hingga suatu malam, aku harus berhadapan dengannya. Ia memang tidak terlalu cantik. Wajahnya biasa-biasa saja. Kulitnya tidak putih seperti standar kecantikan yang digaung-gaungkan oleh produk kosmetik dalam iklan yang wara-wiri di televisi. Rambutnya juga tak panjang atau ikal mayang seperti yang diinginkan oleh pria pada kebanyakan perempuan. Potongan rambutnya malah memberikan kesan tomboi, pendek juga tebal. Tindak tanduknya mengesankan ia bukan sosok lemah lembut seperti ibuku. Namun entah mengapa, sejak pertama kali berjumpa ia mampu membuat dirinya semacam magnet yang menarik seluruh perhatianku.
Hari demi hari kurasakan ada yang berbeda ketika aku bertemu pandang dengannya. Sosoknya yang ternyata periang, dengan gaya bicara ceplas-ceplos membuatnya semakin berbeda dengan perempuan lain yang pernah kujumpai dalam hidupku. Biasanya umat ketika bertemu dengan pastor akan ada rasa sungkan dan selalu berupaya menjaga lisan dan tindakan. Namun hal itu tidak berlaku padanya. Tatapannya tajam, kurasa mampu menguliti keberanian orang yang sedang berhadapan. Mungkin tatapan itu juga dibentuk oleh isi bacaan yang ungkapnya selalu mampu dengan rakus ia habiskan. Ia adalah penyuka tulisan-tulisan Chairil Anwar, Pramoedya Ananta, dan Seno Gumira. Ya, ketiga sosok itu adalah punggawa dalam dunia sastra Indonesia. Dapat kupahami jika sedikit banyak kebebasan hidup ala Chairil Anwar memengaruhi jiwanya, kekuatan karakter ala Pramoedya membentuk pribadinya, keromantisan ala Seno Gumira mewarnai hati dan pemikirannya. Hal ini tampak jelas dari tulisan-tulisan yang dihasilkannya yang selalu membuatku rindu saat menunggu terbitnya majalah paroki itu.
Pernah suatu kali aku menemaninya yang hendak bertemu dengan salah seorang pastor untuk kepentingan wawancara. Saat itu pandangan kami beradu. Ia tersenyum. Manis. Namun saat kunikmati senyuman itu, hati kecilku seketika berperang. Jujur, aku adalah manusia biasa yang dibekali rasa kagum dan tertarik pada lawan jenis, namun di sisi lain, aku juga harus membatasi pergaulan dan perasaan karena telah terikat kaul di awal pentahbisan.
Hari-hariku yang telah penuh sesak oleh tugas imamatku kini bertambah dengan kata hatiku memikirkan sosok itu. Sosok seorang perempuan yang tidak sengaja masuk dalam kehidupanku yang terkadang diliputi kesepian. Kurasa bukanlah dosa jika dalam sukma perlahan tumbuh perasaan mengagumi pribadinya. Toh aku hanya sekadar mengagumi, bukan ingin memiliki. Kubiarkan perasaan itu berkembang, awalnya kuanggap perasaan itu hanya sekadar selingan, ternyata kali ini aku salah.
“Selamat malam, Pastor. Mohon maaf dan mohon izin, saya mengganggu waktunya Pastor,” pesan singkat itu terpampang pada layar ponselku. Seketika ada yang berdesir dalam aliran darahku. Segera kubalas pesan singkat itu,
“Selamat malam, Mbak. Ada apa kiranya hingga malam-malam begini saya di-chat mbak wartawati?”
“Jika berkenan dan tidak mengganggu, bolehkan saya menelepon, Pastor?” lanjut pesan singkat itu darinya.
“Silakan Mbak. Saya sedang tidak ada kesibukan kok,” balasku segera.
Melalui sambungan telepon ia menyampaikan maksudnya hendak mewawancaraiku demi kepentingan majalah pewartaan paroki yang diasuhnya.
Berulang kali pesan singkat darinya kubaca. Aku juga tak habis-habisnya memikirkan bagaimana suasana saat nanti kami bertemu mata untuk melakukan wawancara. Kesempatan itu akan membuat kami bertemu dan menghabiskan waktu lebih lama. Baru memikirkan dan menghayalkannya saja sudah membuaku tersenyum senang. Malam itu kugenggam ponselku, aku tertidur dengan perasaan yang tak dapat kulukiskan.
Jatuh hari temu janji. Kami duduk berhadap-hadapan. Kunikmati setiap pertanyaan dan obrolan. Tak dapat kumungkiri, bicara dengannya sungguh suatu kenikmatan. Tuhan, apakah ini yang namanya kasmaran, atau melalui sosoknya Kau kirimkan aku sebentuk ujian? Mengingat kadar keimanan seseorang hanya dapat ditakar setelah berhasil melewati ujian. Entahlah, aku tak ingin terlalu larut memikirkan lebih dalam. Hingga dalam suatu kesempatan, kami sama terdiam namun pandangan mata kami saling bertabrakan. Ada getaran semakin aneh yang kurasakan. Tapi aku tak ingin dianggap kurang ajar. Sesegera mungkin kualihkan pandangan. Ia pun kukesan membuang pandangan.
Sampai pada usai wawancara, kutangkap ada yang sedikit berbeda. Tak jelas apa sebabnya, ia segera berpamitan pulang. Ia terkesan terburu-buru hingga menoleh ke arahku saat kuantar sampai ke depan pintu pun ia seolah tak mau. Kutatap punggung itu, masih berharap ia membalik ke arahku. Namun kali ini aku harus menelan kecewa. Ia berlalu begitu saja.
Sejak malam itu kurasa aku semakin intens memikirkannya. Tak jelas apakah ini yang dikata orang jatuh cinta. Mungkin hanya aku saja yang didera oleh rasa, sementara ia menjalani hari-harinya seolah tanpa terganggu apa-apa.
Semakin hari sosoknya terasa semakin istimewa. Saat berjumpa dengannya rasanya membuat hari-hariku semacam tertiup energi baru. Suatu gairah yang membuat hidup terasa jauh lebih indah. Ia banyak menceritakan kesehariannya yang mungkin bagi orang lain hanyalah perkara biasa, namun bagiku kisahnya selalu menggugah jiwa. Aku selalu ingin tahu, bahkan kini cerita kesehariannya buatku adalah candu. Dia sedang apa, dia berhadapan dengan siapa, dia sedang dimana, mengapa dia melakukannya, kapan dilakukannya, dan bagaimana dia melakukannya seolah menjadi rangkaian pertanyaan yang rasanya selalu membutuhkan jawaban. Mungkin ini yang dikata orang kepo, knowing every particular object alias selalu ingin tahu. Tapi tak apa, toh keingintahuanku tentang sosoknya tidak pernah membuatku melakukan hal di luar batas. Aku cukup menunggu karena dengan keterbukaan dan kebiasaannya mengunggah aktivitas kesehariannya di media sosial miliknya mampu menjawab rasa ingin tahuku. Diam-diam aku selalu menunggu dan memperhatikan unggahan aktivitasnya dalam keseharian. Mungkin jika dipantau dan ditanya padanya siapa sosok paling pertama yang selalu melihat aktivitasnya di laman sosial miliknya, dirikulah salah satu jawabannya. Betapa nikmat mencintai dan mengagumi seseorang meski hanya dalam diam, dan rasa itu tak pernah berusaha aku padamkan.
Hingga siang itu saat menjelang waktu istirahat ponselku berdering, kutatap layarnya, tertera namanya. Hatiku berdesir.
“Halo, selamat siang, Pastor. Mohon maaf saya mengganggu,” ujar suara di seberang sana terkesan sedikit berat.
“Halo, selamat siang juga Mbak. Tidak apa-apa, tidak mengganggu. Ada yang bisa saya bantu?” Jawabku.
“Boleh kita bertemu Pastor? Ada sedikit permasalahan yang ingin saya bicarakan. Apakah Pastor punya waktu luang? Sesempatnya Pastor saja, jangan sampai mengganggu aktivitasnya,” lanjutnya kemudian.
“Boleh-boleh saja Mbak. Sebisa mungkin saya bantu jika ada yang pelik dan bisa saya berikan solusinya,” sambutku.
Sore yang teduh. Aku beranjak dari kamarku. Ia yang kutunggu datang tepat waktu. Langkahku terasa ringan, hatiku sedang senang. Aku akan bertemu dengan sosok perempuan yang selalu kuhidupkan dalam lamunan. Namun sore ini raut wajahnya tampak berbeda dari biasanya. Keriaannya tak ada. Kudapati ‘mendung’ seolah menggelantung, merias wajahnya yang biasa ceria. Aku tak suka pemandangan itu. Ia yang kutahu adalah periang yang selalu mampu menumbuhkan rindu. Sepertinya kali ini ia datang dengan setumpuk beban perasaan.
“Selamat sore, Mbak,” sapaku tetap berusaha ramah, padahal dalam hatiku ada berjuta pertanyaan yang menggugah.
“Sore, Pastor. Kita bicara di sini saja ya, supaya tidak menimbulkan pandangan sumbang dari orang-orang,” jawabnya sembari mengarahkan tatapan ke tempat duduk semen di bawah pohon rindang tepat di halaman gereja.
“Boleh-boleh, kok kesannya terburu-buru dan tegang, Mbak?” ujarku. Saat kutanya itu, ia hanya menunduk. Raut wajahnya semakin menunjukkan ia tengah terpuruk.
Kami duduk berdampingan, berjarak kira-kira tiga jengkal. Aku berusaha menelusuri wajahnya namun yang kulakukan sia-sia belaka. Ia seolah ingin menelan sendiri rahasia hati. Akhirnya aku menyerah, hanya menunggunya memecah keheningan di antara kami berdua.
“Pastor, apakah berdosa jika saya mencintai seseorang?” ujarnya kemudian. Aku yang ditanya itu sempat gelagapan. Kuakui dalam hatiku terselip sedikit kecewa. Ternyata ‘mendung’ yang menggelantung di wajahnya disebabkan ia tengah dilanda asmara. Apa daya, hatinya telah dimenangkan oleh seorang pria yang entah siapa.
“Wah ya ndak, Mbak. Mencintai itu bukan perbuatan dosa. Lha wong Tuhan sendiri yang menanamkan rasa itu di setiap manusia kok,” jawabku dengan tetap berusaha menahan kecewa. Di sisi lain aku begitu dibuat penasaran, seperti apa pria yang telah berhasil memenangkan hatinya.
“Meskipun rasa itu tumbuh pada orang yang tidak tepat?”
“Ya. Asal kita bisa mengontrolnya. Misal, jika Mbak mencintai orang yang sudah memiliki pasangan yang sah di mata agama dan negara, sudah terikat pernikahan. Sepanjang hanya dirasakan saja tanpa berkeinginan untuk memiliki orang tersebut, ya bukan dosa. Boleh saya tahu siapa sosok beruntung yang membuat Mbak *gandrung wuyung?” ujarku semakin menyelidik.
“Pastor, saya sudah berusaha membunuh rasa itu. tapi saya selalu gagal. Saya jatuh hati pada, Pastor,” ujarnya sembari mulai meneteskan air mata. Aku cukup terperangah mendengar ungkapan yang keluar dari bibirnya.
“Mbak….”
“Maafkan kelancangan saya, Pastor. Saya sudah sangat berusaha mengendalikan perasaan saya. Tapi semakin saya coba, saya semakin tersiksa,” ungkapnya semakin terisak.
“Mbak yang tenang ya hatinya. Saya bisa memahami yang Mbak rasakan,” ujarku kemudian.
“Saya sudah sangat berusaha menekannya, Pastor. Saya anggap Pastor sebagai sahabat, saya berusaha benar-benar bertingkah sewajarnya ketika kita bertemu. Tapi saya selalu merasa desiran itu tidak pernah kunjung menyingkir. Pastor, saya benar-benar tersiksa. Saya pikir jika saya mengungkapkan apa yang saya rasa kepada Pastor, saya akan jauh lebih lega. Saya tidak peduli jawaban Pastor apa. Mungkin ini pengakuan yang sangat memalukan, tapi saya yakin Pastor akan dapat memahami dan bisa merahasiakannya,” sambungnya seperti melepaskan belenggu perasaan.
Aku terdiam sejenak. Sebenarnya ada yang menggedor hebat dalam perasaanku. Lebih dari itu, kebahagiaan luar biasa tengah menyergap hatiku. Ya Tuhan, ia merasakan hal yang sama dengan yang kurasa.
“Mbak, yang tenang ya…. Saya benar-benar bisa memahami perasaan Mbak. Bagaimana jika ternyata saya merasakan hal serupa? Sebagai manusia biasa saya juga dibekali perasaan tertarik pada lawan jenis. Jika saya boleh jujur, saya pun merasakan kegelisahan yang sama dengan yang Mbak rasakan. Seringkali dalam sunyi saya merasa batin saya ada yang memanggil, dan setiap kali kita bertemu, saya seperti mendapat energi baru. Hidup saya terasa lebih berwarna. Sebenarnya setiap kali kita bertemu atau ketika perasaan saya diliputi rindu, getaran itu kerap kali mengganggu namun terus terang saya sangat menikmati itu. Jika sampai pada titik itu, saya merasa sisi manusiawi saya sedang mencoba jujur pada diri sendiri. Apa Mbak ingat pernah suatu ketika saya menemani Mbak untuk bertemu dengan pastor lain untuk melakukan wawancara, dan saat itu kita saling memandang? Pada saat itu saya begitu bahagia meskipun kita tidak banyak bicara. Ingin sekali rasanya berdekatan lebih lama, tapi saya berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja. Saya berusaha menekan perasaan,” tuturku lancar mencoba menerjemahkan juga perasaan yang kupunya yang serupa dengan yang ia rasa. Kutatap wajah yang sedari awal tertunduk itu. Ia membalas tatapanku.
“Pastor…, apa saya tidak salah mendengar yang barusan Pastor ucapkan?” ujarnya kemudian. Kulihat perubahan rona wajahnya yang kini mulai berhias senyum. Senyum yang selama ini sungguh mampu menawan hatiku.
“Ya, Mbak. Mbak tidak salah mendengar apa yang barusan saya sampaikan. Saya juga memiliki perasaan serupa dengan dengan yang Mbak rasakan.”
Air matanya tampak semakin deras mengalir.
“Ya Tuhan…, saya bahagia sekali, Pastor!” ujarnya.
“Hanya saja Mbak, Mbak tentu sangat paham dengan posisi saya. Di satu sisi cinta yang tertanam dalam hati rasanya ingin memiliki, tapi di sisi lain cinta itu juga harus berani merelakan. Di sisi inilah saya harus berani mengorbankan satu rasa untuk memiliki sekaligus harus berani merelakan demi nilai lain. Walaupun dengan berat hati. Sejujurnya saya juga merasakan dilema antara janji kesetiaan panggilan imamat saya dan rasa cinta yang saya rasakan terhadap Mbak. Tapi setidaknya kita sama, Mbak jujur tentang apa yang Mbak rasakan terhadap saya, dan kejujuran saya terhadap diri sendiri juga membuat saya sedikit lebih plong, lebih lega,” sambungku yang sedari tadi berusaha jujur tentang perasaanku dan tetap mengingatkannya tentang posisiku.
Beberapa detik kemudian, kuraih telapak tangannya, kugenggam. Kurasa itu cukup menjadi penenang sekaligus pernyataan bahwa ia tidak merasakan cinta itu sendirian. Terima kasih Tuhan, aku bahagia.
Hari-hari berikutnya adalah hari paling membahagiakan. Cukup menatap senyum dan dapat langsung berkomunikasi bertukar kabar sehari-hari menjadi sumber semangat hidup kami. Hingga di suatu siang, aku mendapat sepucuk surat dari pemimpin ordoku. Kubuka dan kubaca. Aku merenung terbilang cukup lama. Di hadapanku tertulis jelas pengutusanku ke Roma. Hatiku berkecamuk. Sungguh, aku tak sanggup mengecewakannya dengan kabar keberangkatanku ke Roma. Aku kembali merasakan dilema. Di satu sisi aku ingin hidup bahagia sebagai manusia yang padaku tersemat rasa cinta, namun di sisi lain aku harus taat pada kaulku. Kurasakan dalam hatiku ada gerimis.
Malam setelah surat pengutusan itu kuterima, aku tak putus berdoa. Meminta petunjuk pada-Nya tentang apa yang harus kuperbuat. Mengabarinya langsung tentang keberangkatanku dengan risiko melihatnya kembali menangis, atau merahasiakannya hingga waktu keberangkatanku tiba. Sungguh, hatiku tak tenang. Aku tak sanggup melihat wajah ceria itu berduka, aku tak sanggup melihatnya meneteskan air mata. Melihat seseorang yang kita cinta berurai air mata adalah sebuah siksa. Kuputuskan mengambil jalan kedua, merahasiakan kepergianku hingga waktu keberangkatanku tiba.
Aku beranjak membuka kotak usang yang selalu kusimpan. Di dalamnya terdapat beberapa pucuk surat dari kedua orang tuaku saat aku menempuh studi di seminari tinggi dulu dan sebuah rosario yang juga pemberian kedua orang tuaku. Dulu, bersama rosario itu, ayah menyematkan sebuah pesan, “Pergunakan rosario ini untuk berdoa saat hatimu mulai goyah pada panggilan imamatmu.” Pesan itu sungguh kujalankan. Setiap kali lelah menyergap saat menempuh pendidikan di seminari tinggi kurasakan, aku melangitkan doa dengan menggunakan rosario itu sebagai media. Kurasakan hatiku menjadi tenang, semangatku kembali penuh usai menenangkan diri dalam doa menggunakan rosario itu. Kini rosario itu akan berpindah tangan. Rosario itu akan kuberikan padanya. Aku juga akan meminta hal serupa. Namun pesanku akan sedikit berbeda. Jika rindu menyapa, pergunakan rosario ini untuk melangitkan doa.
Kuambil sehelai kertas, aku mulai menulis,
“Mbak, saat surat ini berada di tangan Mbak, saya sedang berada di langit Eropa. Saya mendapat surat pengutusan dari pimpinan yang menugaskan saya ke Roma untuk jangka waktu yang cukup lama. Jaga diri dan hatinya baik-baik. Mohon maaf saya tidak langsung menghubungi Mbak untuk memberi kabar. Hati saya tidak sanggup untuk menyakiti Mbak dengan kabar kepergian saya. Biarlah elegi rindu menyakitkan ini saya nikmati sekali lagi. Saya pamit, Mbak. Doakan saya dengan tugas baru di Roma. Akan saya simpan baik-baik anugerah perasaan cinta yang sama-sama kita rasa. Jika rindu mengganggu, genggamlah rosario ini, langitkanlah doa, saya yakin, kita akan bertemu di amin yang sama.”
Kubaca ulang surat pendek itu. Kali ini aku yang tak dapat menahan deraian air mata. Surat itu kulipat dan kuletakkan di dada. Aku yakin, saat ia membaca surat ini, ia juga akan merasakan kesedihan serupa dengan yang kurasa.
Tiba hari keberangkatan. Pagi itu kutemui koster gereja. Aku berpesan pada koster untuk menghubunginya dan menyampaikan bingkisan kecil berisi rosario dan sepucuk surat yang kukemas dengan kertas berwarna jingga. Ia menggemari jingga. Katanya jingga adalah warna senja dan senja adalah bagian hari paling disukainya.
Aku beranjak pergi meninggalkan gereja dan paroki ini dengan sangat berat hati. Aku berharap suatu saat nanti aku akan kembali karena separuh hatiku tertinggal di sini.
Hari-hari kulalui dengan segala rutinitas melayani umat. Aku memang selalu bersemangat menjalankan kewajibanku sebagai pastor. Inilah cita-citaku sejak dulu. Ayah dan ibuku pun menginginkan hal itu. Berbekal restu orang tua, usai menempuh pendidikan di *seminari tinggi, akhirnya aku ditahbiskan menjadi pastor yang harus patuh pada tiga *kaul, kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Kaul kemiskinan, aku tak boleh terikat dengan harta duniawi. Kaul ketaatan, aku harus taat pada paus, pemimpin tertinggi gereja Katolik Roma dan juga taat pada pemimpin *ordoku. Kaul kemurnian, aku tidak boleh menikah dan hidup *selibat. Tiga perkara yang mati-matian harus kusangkal dalam hidupku. Sebelum ditahbiskan menjadi pastor atau imam, tentu konsekuensi ketiga kaul itu sudah sangat kupahami dan ketika aku ditahbiskan, aku dalam kondisi sangat sadar, sehat jasmani dan rohani, hingga sebenarnya tidak ada alasan apapun untukku meragukan pilihan jalan hidup itu.
Bertahun-tahun aku menghayati panggilan hidupku. Rasanya tidak ada satu pun cobaan berarti ketika aku menghidupi panggilan ini. Hingga suatu malam, aku harus berhadapan dengannya. Ia memang tidak terlalu cantik. Wajahnya biasa-biasa saja. Kulitnya tidak putih seperti standar kecantikan yang digaung-gaungkan oleh produk kosmetik dalam iklan yang wara-wiri di televisi. Rambutnya juga tak panjang atau ikal mayang seperti yang diinginkan oleh pria pada kebanyakan perempuan. Potongan rambutnya malah memberikan kesan tomboi, pendek juga tebal. Tindak tanduknya mengesankan ia bukan sosok lemah lembut seperti ibuku. Namun entah mengapa, sejak pertama kali berjumpa ia mampu membuat dirinya semacam magnet yang menarik seluruh perhatianku.
Hari demi hari kurasakan ada yang berbeda ketika aku bertemu pandang dengannya. Sosoknya yang ternyata periang, dengan gaya bicara ceplas-ceplos membuatnya semakin berbeda dengan perempuan lain yang pernah kujumpai dalam hidupku. Biasanya umat ketika bertemu dengan pastor akan ada rasa sungkan dan selalu berupaya menjaga lisan dan tindakan. Namun hal itu tidak berlaku padanya. Tatapannya tajam, kurasa mampu menguliti keberanian orang yang sedang berhadapan. Mungkin tatapan itu juga dibentuk oleh isi bacaan yang ungkapnya selalu mampu dengan rakus ia habiskan. Ia adalah penyuka tulisan-tulisan Chairil Anwar, Pramoedya Ananta, dan Seno Gumira. Ya, ketiga sosok itu adalah punggawa dalam dunia sastra Indonesia. Dapat kupahami jika sedikit banyak kebebasan hidup ala Chairil Anwar memengaruhi jiwanya, kekuatan karakter ala Pramoedya membentuk pribadinya, keromantisan ala Seno Gumira mewarnai hati dan pemikirannya. Hal ini tampak jelas dari tulisan-tulisan yang dihasilkannya yang selalu membuatku rindu saat menunggu terbitnya majalah paroki itu.
Pernah suatu kali aku menemaninya yang hendak bertemu dengan salah seorang pastor untuk kepentingan wawancara. Saat itu pandangan kami beradu. Ia tersenyum. Manis. Namun saat kunikmati senyuman itu, hati kecilku seketika berperang. Jujur, aku adalah manusia biasa yang dibekali rasa kagum dan tertarik pada lawan jenis, namun di sisi lain, aku juga harus membatasi pergaulan dan perasaan karena telah terikat kaul di awal pentahbisan.
Hari-hariku yang telah penuh sesak oleh tugas imamatku kini bertambah dengan kata hatiku memikirkan sosok itu. Sosok seorang perempuan yang tidak sengaja masuk dalam kehidupanku yang terkadang diliputi kesepian. Kurasa bukanlah dosa jika dalam sukma perlahan tumbuh perasaan mengagumi pribadinya. Toh aku hanya sekadar mengagumi, bukan ingin memiliki. Kubiarkan perasaan itu berkembang, awalnya kuanggap perasaan itu hanya sekadar selingan, ternyata kali ini aku salah.
“Selamat malam, Pastor. Mohon maaf dan mohon izin, saya mengganggu waktunya Pastor,” pesan singkat itu terpampang pada layar ponselku. Seketika ada yang berdesir dalam aliran darahku. Segera kubalas pesan singkat itu,
“Selamat malam, Mbak. Ada apa kiranya hingga malam-malam begini saya di-chat mbak wartawati?”
“Jika berkenan dan tidak mengganggu, bolehkan saya menelepon, Pastor?” lanjut pesan singkat itu darinya.
“Silakan Mbak. Saya sedang tidak ada kesibukan kok,” balasku segera.
Melalui sambungan telepon ia menyampaikan maksudnya hendak mewawancaraiku demi kepentingan majalah pewartaan paroki yang diasuhnya.
Berulang kali pesan singkat darinya kubaca. Aku juga tak habis-habisnya memikirkan bagaimana suasana saat nanti kami bertemu mata untuk melakukan wawancara. Kesempatan itu akan membuat kami bertemu dan menghabiskan waktu lebih lama. Baru memikirkan dan menghayalkannya saja sudah membuaku tersenyum senang. Malam itu kugenggam ponselku, aku tertidur dengan perasaan yang tak dapat kulukiskan.
Jatuh hari temu janji. Kami duduk berhadap-hadapan. Kunikmati setiap pertanyaan dan obrolan. Tak dapat kumungkiri, bicara dengannya sungguh suatu kenikmatan. Tuhan, apakah ini yang namanya kasmaran, atau melalui sosoknya Kau kirimkan aku sebentuk ujian? Mengingat kadar keimanan seseorang hanya dapat ditakar setelah berhasil melewati ujian. Entahlah, aku tak ingin terlalu larut memikirkan lebih dalam. Hingga dalam suatu kesempatan, kami sama terdiam namun pandangan mata kami saling bertabrakan. Ada getaran semakin aneh yang kurasakan. Tapi aku tak ingin dianggap kurang ajar. Sesegera mungkin kualihkan pandangan. Ia pun kukesan membuang pandangan.
Sampai pada usai wawancara, kutangkap ada yang sedikit berbeda. Tak jelas apa sebabnya, ia segera berpamitan pulang. Ia terkesan terburu-buru hingga menoleh ke arahku saat kuantar sampai ke depan pintu pun ia seolah tak mau. Kutatap punggung itu, masih berharap ia membalik ke arahku. Namun kali ini aku harus menelan kecewa. Ia berlalu begitu saja.
Sejak malam itu kurasa aku semakin intens memikirkannya. Tak jelas apakah ini yang dikata orang jatuh cinta. Mungkin hanya aku saja yang didera oleh rasa, sementara ia menjalani hari-harinya seolah tanpa terganggu apa-apa.
Semakin hari sosoknya terasa semakin istimewa. Saat berjumpa dengannya rasanya membuat hari-hariku semacam tertiup energi baru. Suatu gairah yang membuat hidup terasa jauh lebih indah. Ia banyak menceritakan kesehariannya yang mungkin bagi orang lain hanyalah perkara biasa, namun bagiku kisahnya selalu menggugah jiwa. Aku selalu ingin tahu, bahkan kini cerita kesehariannya buatku adalah candu. Dia sedang apa, dia berhadapan dengan siapa, dia sedang dimana, mengapa dia melakukannya, kapan dilakukannya, dan bagaimana dia melakukannya seolah menjadi rangkaian pertanyaan yang rasanya selalu membutuhkan jawaban. Mungkin ini yang dikata orang kepo, knowing every particular object alias selalu ingin tahu. Tapi tak apa, toh keingintahuanku tentang sosoknya tidak pernah membuatku melakukan hal di luar batas. Aku cukup menunggu karena dengan keterbukaan dan kebiasaannya mengunggah aktivitas kesehariannya di media sosial miliknya mampu menjawab rasa ingin tahuku. Diam-diam aku selalu menunggu dan memperhatikan unggahan aktivitasnya dalam keseharian. Mungkin jika dipantau dan ditanya padanya siapa sosok paling pertama yang selalu melihat aktivitasnya di laman sosial miliknya, dirikulah salah satu jawabannya. Betapa nikmat mencintai dan mengagumi seseorang meski hanya dalam diam, dan rasa itu tak pernah berusaha aku padamkan.
Hingga siang itu saat menjelang waktu istirahat ponselku berdering, kutatap layarnya, tertera namanya. Hatiku berdesir.
“Halo, selamat siang, Pastor. Mohon maaf saya mengganggu,” ujar suara di seberang sana terkesan sedikit berat.
“Halo, selamat siang juga Mbak. Tidak apa-apa, tidak mengganggu. Ada yang bisa saya bantu?” Jawabku.
“Boleh kita bertemu Pastor? Ada sedikit permasalahan yang ingin saya bicarakan. Apakah Pastor punya waktu luang? Sesempatnya Pastor saja, jangan sampai mengganggu aktivitasnya,” lanjutnya kemudian.
“Boleh-boleh saja Mbak. Sebisa mungkin saya bantu jika ada yang pelik dan bisa saya berikan solusinya,” sambutku.
Sore yang teduh. Aku beranjak dari kamarku. Ia yang kutunggu datang tepat waktu. Langkahku terasa ringan, hatiku sedang senang. Aku akan bertemu dengan sosok perempuan yang selalu kuhidupkan dalam lamunan. Namun sore ini raut wajahnya tampak berbeda dari biasanya. Keriaannya tak ada. Kudapati ‘mendung’ seolah menggelantung, merias wajahnya yang biasa ceria. Aku tak suka pemandangan itu. Ia yang kutahu adalah periang yang selalu mampu menumbuhkan rindu. Sepertinya kali ini ia datang dengan setumpuk beban perasaan.
“Selamat sore, Mbak,” sapaku tetap berusaha ramah, padahal dalam hatiku ada berjuta pertanyaan yang menggugah.
“Sore, Pastor. Kita bicara di sini saja ya, supaya tidak menimbulkan pandangan sumbang dari orang-orang,” jawabnya sembari mengarahkan tatapan ke tempat duduk semen di bawah pohon rindang tepat di halaman gereja.
“Boleh-boleh, kok kesannya terburu-buru dan tegang, Mbak?” ujarku. Saat kutanya itu, ia hanya menunduk. Raut wajahnya semakin menunjukkan ia tengah terpuruk.
Kami duduk berdampingan, berjarak kira-kira tiga jengkal. Aku berusaha menelusuri wajahnya namun yang kulakukan sia-sia belaka. Ia seolah ingin menelan sendiri rahasia hati. Akhirnya aku menyerah, hanya menunggunya memecah keheningan di antara kami berdua.
“Pastor, apakah berdosa jika saya mencintai seseorang?” ujarnya kemudian. Aku yang ditanya itu sempat gelagapan. Kuakui dalam hatiku terselip sedikit kecewa. Ternyata ‘mendung’ yang menggelantung di wajahnya disebabkan ia tengah dilanda asmara. Apa daya, hatinya telah dimenangkan oleh seorang pria yang entah siapa.
“Wah ya ndak, Mbak. Mencintai itu bukan perbuatan dosa. Lha wong Tuhan sendiri yang menanamkan rasa itu di setiap manusia kok,” jawabku dengan tetap berusaha menahan kecewa. Di sisi lain aku begitu dibuat penasaran, seperti apa pria yang telah berhasil memenangkan hatinya.
“Meskipun rasa itu tumbuh pada orang yang tidak tepat?”
“Ya. Asal kita bisa mengontrolnya. Misal, jika Mbak mencintai orang yang sudah memiliki pasangan yang sah di mata agama dan negara, sudah terikat pernikahan. Sepanjang hanya dirasakan saja tanpa berkeinginan untuk memiliki orang tersebut, ya bukan dosa. Boleh saya tahu siapa sosok beruntung yang membuat Mbak *gandrung wuyung?” ujarku semakin menyelidik.
“Pastor, saya sudah berusaha membunuh rasa itu. tapi saya selalu gagal. Saya jatuh hati pada, Pastor,” ujarnya sembari mulai meneteskan air mata. Aku cukup terperangah mendengar ungkapan yang keluar dari bibirnya.
“Mbak….”
“Maafkan kelancangan saya, Pastor. Saya sudah sangat berusaha mengendalikan perasaan saya. Tapi semakin saya coba, saya semakin tersiksa,” ungkapnya semakin terisak.
“Mbak yang tenang ya hatinya. Saya bisa memahami yang Mbak rasakan,” ujarku kemudian.
“Saya sudah sangat berusaha menekannya, Pastor. Saya anggap Pastor sebagai sahabat, saya berusaha benar-benar bertingkah sewajarnya ketika kita bertemu. Tapi saya selalu merasa desiran itu tidak pernah kunjung menyingkir. Pastor, saya benar-benar tersiksa. Saya pikir jika saya mengungkapkan apa yang saya rasa kepada Pastor, saya akan jauh lebih lega. Saya tidak peduli jawaban Pastor apa. Mungkin ini pengakuan yang sangat memalukan, tapi saya yakin Pastor akan dapat memahami dan bisa merahasiakannya,” sambungnya seperti melepaskan belenggu perasaan.
Aku terdiam sejenak. Sebenarnya ada yang menggedor hebat dalam perasaanku. Lebih dari itu, kebahagiaan luar biasa tengah menyergap hatiku. Ya Tuhan, ia merasakan hal yang sama dengan yang kurasa.
“Mbak, yang tenang ya…. Saya benar-benar bisa memahami perasaan Mbak. Bagaimana jika ternyata saya merasakan hal serupa? Sebagai manusia biasa saya juga dibekali perasaan tertarik pada lawan jenis. Jika saya boleh jujur, saya pun merasakan kegelisahan yang sama dengan yang Mbak rasakan. Seringkali dalam sunyi saya merasa batin saya ada yang memanggil, dan setiap kali kita bertemu, saya seperti mendapat energi baru. Hidup saya terasa lebih berwarna. Sebenarnya setiap kali kita bertemu atau ketika perasaan saya diliputi rindu, getaran itu kerap kali mengganggu namun terus terang saya sangat menikmati itu. Jika sampai pada titik itu, saya merasa sisi manusiawi saya sedang mencoba jujur pada diri sendiri. Apa Mbak ingat pernah suatu ketika saya menemani Mbak untuk bertemu dengan pastor lain untuk melakukan wawancara, dan saat itu kita saling memandang? Pada saat itu saya begitu bahagia meskipun kita tidak banyak bicara. Ingin sekali rasanya berdekatan lebih lama, tapi saya berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja. Saya berusaha menekan perasaan,” tuturku lancar mencoba menerjemahkan juga perasaan yang kupunya yang serupa dengan yang ia rasa. Kutatap wajah yang sedari awal tertunduk itu. Ia membalas tatapanku.
“Pastor…, apa saya tidak salah mendengar yang barusan Pastor ucapkan?” ujarnya kemudian. Kulihat perubahan rona wajahnya yang kini mulai berhias senyum. Senyum yang selama ini sungguh mampu menawan hatiku.
“Ya, Mbak. Mbak tidak salah mendengar apa yang barusan saya sampaikan. Saya juga memiliki perasaan serupa dengan dengan yang Mbak rasakan.”
Air matanya tampak semakin deras mengalir.
“Ya Tuhan…, saya bahagia sekali, Pastor!” ujarnya.
“Hanya saja Mbak, Mbak tentu sangat paham dengan posisi saya. Di satu sisi cinta yang tertanam dalam hati rasanya ingin memiliki, tapi di sisi lain cinta itu juga harus berani merelakan. Di sisi inilah saya harus berani mengorbankan satu rasa untuk memiliki sekaligus harus berani merelakan demi nilai lain. Walaupun dengan berat hati. Sejujurnya saya juga merasakan dilema antara janji kesetiaan panggilan imamat saya dan rasa cinta yang saya rasakan terhadap Mbak. Tapi setidaknya kita sama, Mbak jujur tentang apa yang Mbak rasakan terhadap saya, dan kejujuran saya terhadap diri sendiri juga membuat saya sedikit lebih plong, lebih lega,” sambungku yang sedari tadi berusaha jujur tentang perasaanku dan tetap mengingatkannya tentang posisiku.
Beberapa detik kemudian, kuraih telapak tangannya, kugenggam. Kurasa itu cukup menjadi penenang sekaligus pernyataan bahwa ia tidak merasakan cinta itu sendirian. Terima kasih Tuhan, aku bahagia.
Hari-hari berikutnya adalah hari paling membahagiakan. Cukup menatap senyum dan dapat langsung berkomunikasi bertukar kabar sehari-hari menjadi sumber semangat hidup kami. Hingga di suatu siang, aku mendapat sepucuk surat dari pemimpin ordoku. Kubuka dan kubaca. Aku merenung terbilang cukup lama. Di hadapanku tertulis jelas pengutusanku ke Roma. Hatiku berkecamuk. Sungguh, aku tak sanggup mengecewakannya dengan kabar keberangkatanku ke Roma. Aku kembali merasakan dilema. Di satu sisi aku ingin hidup bahagia sebagai manusia yang padaku tersemat rasa cinta, namun di sisi lain aku harus taat pada kaulku. Kurasakan dalam hatiku ada gerimis.
Malam setelah surat pengutusan itu kuterima, aku tak putus berdoa. Meminta petunjuk pada-Nya tentang apa yang harus kuperbuat. Mengabarinya langsung tentang keberangkatanku dengan risiko melihatnya kembali menangis, atau merahasiakannya hingga waktu keberangkatanku tiba. Sungguh, hatiku tak tenang. Aku tak sanggup melihat wajah ceria itu berduka, aku tak sanggup melihatnya meneteskan air mata. Melihat seseorang yang kita cinta berurai air mata adalah sebuah siksa. Kuputuskan mengambil jalan kedua, merahasiakan kepergianku hingga waktu keberangkatanku tiba.
Aku beranjak membuka kotak usang yang selalu kusimpan. Di dalamnya terdapat beberapa pucuk surat dari kedua orang tuaku saat aku menempuh studi di seminari tinggi dulu dan sebuah rosario yang juga pemberian kedua orang tuaku. Dulu, bersama rosario itu, ayah menyematkan sebuah pesan, “Pergunakan rosario ini untuk berdoa saat hatimu mulai goyah pada panggilan imamatmu.” Pesan itu sungguh kujalankan. Setiap kali lelah menyergap saat menempuh pendidikan di seminari tinggi kurasakan, aku melangitkan doa dengan menggunakan rosario itu sebagai media. Kurasakan hatiku menjadi tenang, semangatku kembali penuh usai menenangkan diri dalam doa menggunakan rosario itu. Kini rosario itu akan berpindah tangan. Rosario itu akan kuberikan padanya. Aku juga akan meminta hal serupa. Namun pesanku akan sedikit berbeda. Jika rindu menyapa, pergunakan rosario ini untuk melangitkan doa.
Kuambil sehelai kertas, aku mulai menulis,
“Mbak, saat surat ini berada di tangan Mbak, saya sedang berada di langit Eropa. Saya mendapat surat pengutusan dari pimpinan yang menugaskan saya ke Roma untuk jangka waktu yang cukup lama. Jaga diri dan hatinya baik-baik. Mohon maaf saya tidak langsung menghubungi Mbak untuk memberi kabar. Hati saya tidak sanggup untuk menyakiti Mbak dengan kabar kepergian saya. Biarlah elegi rindu menyakitkan ini saya nikmati sekali lagi. Saya pamit, Mbak. Doakan saya dengan tugas baru di Roma. Akan saya simpan baik-baik anugerah perasaan cinta yang sama-sama kita rasa. Jika rindu mengganggu, genggamlah rosario ini, langitkanlah doa, saya yakin, kita akan bertemu di amin yang sama.”
Kubaca ulang surat pendek itu. Kali ini aku yang tak dapat menahan deraian air mata. Surat itu kulipat dan kuletakkan di dada. Aku yakin, saat ia membaca surat ini, ia juga akan merasakan kesedihan serupa dengan yang kurasa.
Tiba hari keberangkatan. Pagi itu kutemui koster gereja. Aku berpesan pada koster untuk menghubunginya dan menyampaikan bingkisan kecil berisi rosario dan sepucuk surat yang kukemas dengan kertas berwarna jingga. Ia menggemari jingga. Katanya jingga adalah warna senja dan senja adalah bagian hari paling disukainya.
Aku beranjak pergi meninggalkan gereja dan paroki ini dengan sangat berat hati. Aku berharap suatu saat nanti aku akan kembali karena separuh hatiku tertinggal di sini.
Catatan Kaki
*Paroki: adalah komunitas kaum beriman yang dibentuk secara tetap dengan batas-batas kewilayahan tertentu dalam keuskupan.
*misa: upacara ibadat utama dalam Gereja Katolik, yang di dalamnya roti dan anggur yang dikurbankan berubah zatnya menjadi kehadiran Kristus.
*seminari tinggi: adalah jenjang pembinaan terakhir dari para calon imam sesudah mereka mengikuti Seminari Tahun Orientasi Rohani. Biasanya pendidikan yang ditempuh di sini selama 6 tahun kuliah ditambah 1 tahun praktik Tahun Orientasi Pastoral.
*kaul: adalah janji yang diucapkan oleh seorang anggota religius.
*ordo: perserikatan keagamaan yg diakui oleh paus dan yang anggotanya hidup sesuai dengan aturan dan hukum gereja (tarekat biarawan).
*selibat: (dari bahasa Latin caelibatus) adalah keadaan tidak menikah secara sukarela, berpantang secara seksual, atau keduanya, biasanya karena alasan agama. Selibat sering dikaitkan dengan peran seorang pemuka agama.
*gandrung wuyung: berasal dari bahasa Sansekerta yang jamak digunakan oleh masyarakat Jawa dan Sunda yang berarti jatuh cinta.
*koster: seorang petugas yang bertanggung jawab mengurus bangunan gereja dan segenap isinya.
*rosario: alat yang digunakan ketika sedang berdoa oleh orang Katolik yang berbentuk seperti kalung, umumnya terbuat dari manik-manik yang dirangkai.
Cerpen dimuat dalam buku antologi cerpen berjudul Nocturno: Kisah Perjalanan Panjang Malam-malam Katresnan Ing Kasunyatan