tentang kisah dan jejak langkah

Test foto 1

Foto sementara

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

Kamis, 04 Agustus 2022

KUPELUK SURGAKU


                                                                     (Image By Google)  

  “Mau mati, mau bunuh diri!”

     Teriakan itu membahana mengundang perhatian tetangga. Aku dan bapak kemudian sibuk mengklarifikasi sekaligus mengusir halus tetangga kanan kiri yang berdatangan menyaksikan sebuah pergolakan rumah tangga yang seharusnya sangat rahasia.

     Ini sudah kali kelima keinginan bunuh diri selama ibu mengalami gangguan kesehatan yang lumayan berat. Bulan Mei 2019 ibu divonis stroke setelah suatu pagi beliau kehilangan kekuatan untuk menggerakkan kaki dan tangan kanannya. Percayalah, sebuah rumah akan kehilangan seri dan keriaannya ketika sang ratu rumah tangga tiba-tiba kehilangan daya, sakit fisiknya, atau psikisnya. Hari-hari berikutnya rumah terasa suram karena para penghuninya muram. Tak ada canda, tak ada gelak tawa. Semua mata menjadi sendu dan seluruh perhatian tertuju pada sosok ibu.

     Ibu, sosok yang sebelumnya tangguh itu roboh setelah bertahun digerogoti sakit dan usia yang mulai melangit. Beliau sama sekali tak pernah mengeluhkan sakitnya dan kami semua terhenyak setelah ia benar-benar kehilangan kekuatannya. Ia begitu rapat menggenggam rahasia yang ia rasa. Satu-satunya petunjuk bahwa ibu mulai tak sehat adalah ketika di kloset tempat beliau membuang hajat dikerumuni semut. Sebenarnya dari situ aku sudah mulai menaruh curiga. Pernah beliau kubujuk untuk memeriksa keadaan kesehatannya. Namun hanya amarah yang kuterima.

    “Ibu nda sakit, mungkin waktu itu nyiram kloset kurang bersih jadi semut berkerumun.” Meskipun jawaban itu tak memuaskan namun tak ada yang bisa kulakukan. Jika tetap kupaksakan untuk mengajaknya memeriksa keadaan kesehatan, aku yakin, seminggu berikutnya aku tak akan mendengar suaranya mengajakku bertegur sapa. Apa rasanya jika tinggal serumah tapi nihil komunikasi. Akhirnya aku memilih memercayai pernyataanya bahwa beliau baik-baik saja.

    Empat tahun berselang. Kondisi fisiknya semakin memprihatinkan. Ibu kehilangan berat badan yang cukup signifikan. Pernah hal itu kuadukan pada bapak, bapak berinisiatif membujuk agar ibu mau dirujuk,

     “Setidaknya mau diajak periksa. Kalau tidak ada apa-apa ya sudah, tapi kalau ada penyakitnya kita coba cari obatnya,” begitu nasihat bapak yang lagi-lagi hanya dianggap angin lalu. Kekeraskepalaannya sesuai dengan ketangguhannya sebagai salah satu sokoguru perekonomian keluarga. Dulu waktu masih muda, ibu adalah seorang pekerja keras. Hal itu dilakukannya untuk membantu bapak memenuhi kebutuhan rumah tangga kami. Memang, bapak dan ibu keduanya berprofesi sebagai guru. Bapak guru sekolah dasar, ibu guru taman kanak-kanak. Namun untuk mengandalkan gaji guru zaman dulu, sungguh jauh api dari panggang, sangat kurang untuk memenuhi segala kebutuhan. Jika hanya untuk memenuhi kebutuhan makan saja, memang tidak menjadi perkara, namun jika sudah bicara kebutuhan lainnya, biaya pendidikan anak misalnya, mustahil hanya mengandalkan gaji perbulan saja. Apalagi jika di dalam rumah tangga anaknya minimal dua atau tiga, dan semuanya sudah mulai beranjak remaja, mulai mengenyam pendidikan tinggi yang haus untuk dibiayai.

     Berbagai cara dilakukan ibu untuk membantu menambah penghasilan rumah tangga, dari mulai berjualan nasi yang dititipkan ke kantin-kantin sekolah, hingga mendidik anak-anaknya berjualan keliling kampung membawa keranjang berisi gorengan. Aku termasuk yang mengalami didikan itu. bangun pukul 04.30 subuh hari, mandi, kemudian membantu membungkus nasi dan mengantarkannya ke kantin-kantin sekolah kenalan kami, lantas bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah. Sepulang sekolah menjajakan gorengan dari rumah ke rumah saat sore menjelang. Entah mengapa dulu aku juga tak pernah malu untuk melakukan perintah ibu. Mungkin karena ada iming-iming upah rupiah usai tugas menjajakan gorengan kulakukan.

     Itu dulu waktu masih bocah, semakin bertambah usia semakin menyadari tindakan ibu adalah caranya mendidik kami untuk menjadi tangguh dan tak mudah mengeluh menghadapi hidup yang keras dan harus serba tangkas. Beranjak dewasa, kami, anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, mampu beradaptasi dengan segala situasi.

     Waktu bejalan, kedua kakakku pindah dari rumah yang membesarkan kami karena sudah terikat pernikahan. Sementara menyisakan aku, si bungsu yang masih betah melajang. Praktis di rumah tinggal kami bertiga. Aku, bapak, dan ibu. Tibalah masa itu, masa dimana tubuh ibu yang semula perkasa, perlahan menjadi renta.

     Kutangkap satu hal yang cukup mengganggu kondisi psikisnya adalah ketika timbul rasa tidak terima terhadap keadaan yang semula penuh berkekuatan menjadi sosok yang harus banyak berdiam, sosok yang sakit-sakitan. Seringkali ia menangis membuat hati kami miris. Merasa dirinya hanya menjadi beban bagi keluarga. Sementara untuk beraktivitas, ia sama sekali tak bisa. Bahkan mandi dan membuang hajat sekalipun harus dibantu. Ia seringkali mencoba kembali mandiri, melakukan apapun yang berkaitan dengan kebutuhan pribadinya sendiri. Namun tetap, hanya kegagalan dan keterpurukan yang semakin beliau rasakan.

    Memang ada hal yang tidak berubah dari pribadinya, kekeraskepalaannya. Kadang kekeraskepalaan itu sedikit menjengkelkan bagi kami yang merawatnya. Ya Tuhan, betapa berdosa rasanya jika kala merawatnya terkadang timbul ketidaksabaran menghadapi sifat ibu. Ada fase putus asa yang sering menghampiri hingga timbut niat bunuh diri, ada fase bosan mengonsumsi obat-obatan meskipun sudah berulang kali dijelaskan bahwa dengan obat-obatan itu hidup ibu bisa bertahan, dan yang paling menjengkelkan ketika fase malas akibat putus asa menderanya. Secara rutin ibu kami minta untuk kembali belajar berjalan agar langkahnya tak tampak sempoyongan. Hal ini baik untuk melatih kembali keseimbangan dan tentunya berpengaruh pada berbagai organ. Minimal ketika banyak berjalan, cairan tidak menumpuk di satu bagian badan. Jika sudah mulai kambuh keengganan, di fase itulah kesabaran kami yang merawatnya seolah benar-benar tengah diuji. Kuakui, sebagai manusia biasa kadang amarahku terpancing. Apalagi jika kelelahan setelah seharian bekerja dan beraktivitas di luar, belum lagi harus menyelesaikan urusan rumah yang seperti tak pernah ada habisnya.

     Termasuk sore ini. Sepulang kerja kudapati suasana rumah tak seperti biasa. Ada keheningan ekstra di dalamnya. Kuhampiri bapak, lantas bertanya,

     “Ada apa, Pak. Kok senyap-senyap saja rumah. Tidak seperti biasa.” Kuakui bapak adalah sosok lelaki luar biasa sabarnya. Beliau juga pribadi yang romantis. Acapkali kulihat pemandangan bapak setengah berjongkok menghadap ibu yang duduk di sofa rumah, memeluk dan menciumi pipi ibu sembari memberikan motivasi agar ibu tak terlalu terpuruk pada kondisi, lantas mengisahkan kembali sejarah awal mula mereka berdua berjumpa kemudian saling jatuh cinta dan membangun rumah tangga. Kurasa itu adalah salah satu ‘obat’ dan penguat semangat yang menjadikan rumah tangga mereka kokoh, mampu bertahan dalam rentang puluhan tahun usia pernikahan.

    “Ibumu kumat lagi bandelnya. Sejak siang ndak mau minum obat, diajak latihan jalan malah marah-marah,” sungut bapak yang tampak memendam kekesalan.

     Saat itu amarahku terpancing. Kuhampiri ibu.

  “Ibu maunya apa? Kami sudah capek menghadapi ibu yang keras kepala. Sudah bosan hidup bersama kami? Sampai-sampai ndak mau minum obat, diajak latihan jalan malah marah-marah?” ujarku setengah membentak.

    Ibu yang merasa terpojok membalas dengan berteriak,
  “Kalian bosan menghadapiku. Bunuh saja aku. Aku sudah ndak berguna. Penyakit juga ndak sembuh-sembuh. Atau kalian lebih suka kalau aku bunuh diri! Jadi kalian ndak usah susah-susah ngurus aku!” sautnya yang semakin memanaskan situasi.
  
   “Sana kalau mau bunuh diri!” amukku menjadi-jadi. 
    
    Begitu kesulitan ibu hendak berdiri, namun karena didasari amarah, upayanya berdiri tak kunjung berhasil. Di saat bersamaan, terdengar suara keras yang bersumber dari pelantang suara masjid yang berada tak jauh dari rumah.
   
    “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji'ụn. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji'ụn. Telah meninggal dunia, seorang perempuan bernama Sa’odah binti Nuralamsyah, dalam usia 83 tahun. Jenazah akan disemayamkan di rumah duka, Jalan Cendana nomor 43.”

    Mendengar suara pengumuman itu suasana rumah yang awalnya riuh karena pertengkaranku dan ibu mendadak menjadi hening. Serta merta kupeluk tubuh ringkih pemilik surgaku itu. Kami berdua bertangis-tangisan. Ibu menangis karena sisa kekesalan dan mungkin penyesalan, sementara aku menangis karena menyesal telah marah dan membentak sosoknya. Kueratkan pelukanku. Suaraku yang awalnya meninggi dan penuh amarah kembali merendah.
     
     “Bu, aku menyesal sudah memarahi Ibu. Harusnya aku banyak bersyukur Ibu masih hidup, masih bersama kami. Masih dapat kupeluk ciumi dan kuurusi. Harusnya aku lebih sabar. Maafkan aku, Bu,” ujarku di sela isak tangisku.
    
    Tangis ibu mulai mereda, tak lama beliau angkat bicara,
    
    “Maafkan ibu juga setiap kali selalu mengancam bunuh diri. Harusnya ibu bersyukur masih diberi kesempatan hidup lebih lama dan bisa sama-sama kalian.”
   
    Sungguh, sore itu kami disadarkan oleh sebuah kejadian di luar dugaan. Kami disadarkan oleh pengumuman tentang kematian. Disadarkan bahwasanya kami saling mencintai namun terkadang masing-masing masih mengutamakan ego yang tinggi.


NB: Cerpen dimuat di buku NOCTURNO:  Kisah Perjalanan Panjang Malam-malam Katresnan Ing Kasunyatan


Share:

Statistik Kunjungan

Arsip Blog

Recent Posts

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *