Bip…bip….
Telepon genggamku yang minim kuota kembali berbunyi dengan lantang menandakan ada pesan masuk di media sosial Instagramku. Segera kusambar piranti komunikasiku dan kubuka dengan tak sabar. Sebuah pesan yang kutunggu-tunggu terpampang di hadapanku. Pesan dari benua seberang. Pesan dari seorang sahabat virtual yang kukenal kira-kira setahun yang lalu. Nico, ia remaja seusiaku, berkewarganegaraan Indonesia yang nasibnya sungguh mujur, memiliki ayah yang bekerja sebagai salah satu staf Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Australia. Kami pertama kali berkenalan melalui media sosial Instagram. Platform media sosial yang memungkinkan para penggunanya untuk berbagi foto maupun video dan dapat disaksikan oleh sesama pengguna dan pemilik akun Instagram lain.
Melalui hobi memotret bermodalkan kamera telepon genggam milikku, aku rajin mengunggah konten berupa foto segala hal yang berkaitan dengan Singkawang, kota tempat tinggalku yang kurasa sungguh eksotis dengan budayanya, dengan pecinan tua yang hingga detik ini masih kokoh berdiri dan lestari, hingga tangkapan layar bergambar bangunan-bangunan cagar budaya yang masih sangat terpelihara sesuai aslinya. Meskipun kualitas fotoku tak sebaik hasil foto kamera canggih dan profesional, namun satu hal yang kurasa menjadi nilai plus dari hasil karya fotoku. Kata banyak orang, aku pandai menakar sudut pandang pengambilan gambar hingga sebuah objek yang sebenarnya biasa-biasa saja, ketika kuabadikan melalui rana kamera akan menjadi suatu pemandangan yang luar biasa. Melalui jembatan karya foto yang kuunggah di akun Instagramku, Nico mengirimiku sebuah pesan perkenalan. Katanya dia mengagumi foto-foto yang telah kuunggah. Gayung bersambut, aku lantas membalas pesan pribadi yang berisi perkenalan serta pujian darinya. Sejak saat itu kami intens berkomunikasi.
Awalnya aku sungguh heran ketika dia fasih menggunakan Bahasa Indonesia pada saat berkirim pesan. Yang kutahu saat aku melihat profil akun Instagramnya, Nico mencantumkan biodata bertulis 'Student, Aussie', dari namanya pun sungguh meyakinkan bahwa dia berkewarganegaraan Australia. Namun melalui pesan dalam obrolan aku baru paham tentang indentitas pribadinya. Bagiku, Nico adalah seorang sahabat yang sungguh menyenangkan. Dia cerdas, berwawasan luas, asyik diajak ngobrol, dan satu lagi, dia sangat tampan! Poin terakhir itu yang membuatku semakin betah bertukar kabar dengannya. Aku merasa kecanduan untuk selalu membangun komunikasi dengannya hingga menerbangkan anganku untuk bertemu dengannya. Kurasa aku mulai masuk masa puber, aku mulai tertarik pada lawan jenis, dan kata salah seorang guru yang mengajar di kelasku perasaan tertarik pada lawan jenis itu sangatlah wajar untuk remaja seusiaku. Seringkali aku tersenyum dan tersipu kala melihat notifikasi pesan masuk darinya di akun Instagramku, seperti halnya sorea ini,
"Hai Nazwa, selamat sore!" demikian isi pesan singkat darinya.
Dengan segera kubalas,
"Hei…, selamat sore Nico. Maaf ya baru balas pesanmu. Aku sesiang hingga sore tadi super sibuk. Membantu papa mencuci salah satu koleksi mobilnya, terus lanjut membantu oma merawat bunga-bunga di taman, eh terakhir diminta mama untuk membantunya belanja online, memilih tas branded! Ya, biasalah, mamaku kan memang begitu, hobi banget belanja online padahal koleksian tasnya sudah lebih dari tiga lemari besar 😂😂😂," balasku.
Tak berapa lama terdengar kembali bunyi bip…bip… dari telepon genggamku.
"Oh, tak mengapa, Nazwa, aku bisa paham. Bagaimana kondisimu, sehatkan?" tanyanya lagi yang segera kubalas,
"Sehat dong. Kalau aku nggak sehat nggak mungkin kan membantu papa mencuci mobilnya dan juga membantu oma merawat bunga-bunga plus ikutan milihin belanjaan online mama 😂," balasku lagi.
"Wa, inget nggak tentang tradisi Cap Go Meh yang pernah kamu ceritakan, yang katamu setiap tahun digelar sebagai festival di kotamu itu?"
"Oh inget dong, masa' aku lupa. Ya, Cap Go Meh sebentar lagi lho. Kan sekarang sudah mau perayaan Imlek, Tahun Baru Cina! Lima belas hari setelah Imlek, Festival Cap Go Meh akan digelar meriah. Tatung-tatung akan beratraksi di seluruh penjuru kota. Kotaku juga akan diselimuti aroma dupa dan tentunya akan membuat suasana kota menjadi terasa mistik! Bisa kebayang nggak, seru kan?!" balasku bersemangat mempromosikan tentang kotaku.
"Iya, Wa, seru banget! Itulah yang membuatku tertarik ingin mengunjungi kotamu. And guess what?! Aku sudah meminta izin pada papa untuk dapat mengunjungi Indonesia, dan tentunya ke kotamu untuk menyaksikan perayaan Festival Cap Go Meh tahun ini. Daaaaann.. papa ngebolehiiiiinnn! Hahaha.... Kau wajib menemaniku untuk menonton Festival Cap Go Meh, hunting foto, juga meneraktirku berbagai makanan khas kotamu yang seringkali kau ceritakan, hmm..., apatuh, kalau nggak keliru ada Choipan, mi Ashuk, Moon Cake. Kau pasti senang kan kita akan bertemu. Ohiya, Wa, aku juga izin dong untuk menginap di rumahmu beberapa hari selama aku berada di Singkawang. Boleh kan?"
Seketika kurasakan lututku lemas saat membaca pesan dari Nico. Kurasakan juga darahku mengalir panas di punggung, keringat mulai membasahi dahiku, dadaku berdebar kencang. Tak lama kemudian aku kembali membalas pesan singkat dari Nico,
"Nico, sebentar-sebentar. Kenapa sangat tiba-tiba ingin mengunjungi Singkawang? Aku kan perlu persiapan untuk menyambut kedatanganmu," usai mengetik balasan pesan itu, serta merta kutekan tulisan send di layar telepon genggamku, namun selalu gagal. Kuperiksa kuota telepon genggamku, ternyata kuotaku habis.
Lemah lunglai aku berjalan menghampiri mamak di dapur yang sedang membersihkan beras, kusentuh pundak perempuan yang melahirkanku sambil berujar pelan dan penuh keraguan,
"Mak, boleh Wawa minta uang untuk beli kuota…," ujarku pelan.
"Kuota lagi?! Habis uang Mamak kau minta terus untuk beli kuota. Kau pikir Mamakmu punya pohon uang! Bapakmu ngasi jatah belanja tiap minggu jak cuma cukup untuk beli beras dan ikan asin!"
Tak sanggup aku mendengar omelan mamak, aku membalikkan badan berlari menuju kamarku, menelungkup sambil menangis sejadi-jadinya, menyesal telah berbohong sejak awal pada sahabat virtual tentang keadaan keluargaku.