(Image By Google)
Lima tahun terakhir orang-orang sekitar atau yang
kutemui selalu mengagumi, minimal berkomentar positif atas aroma Kenzo L’eau Pour Femme yang rutin kusemprotkan
atas tubuhku. Para mahasiswa yang kuampu mata kuliahnya pun tak jarang memuji
pilihan busana yang konon membuatku selalu menarik di hadapan mereka. Ya, aku
merupakan pengoleksi busana lumayan bermerk yang kupercaya mampu menunjukkan
‘kelas’ bagi pemakainya. Potongan rambut yang kutata model bob sekuping dan kukelir
hitam menambah kesan fresh untuk penampilan
perempuan seusiaku. Lagipula bentuk rahangku yang kecil mengesankan aku masih
tetap muda dan masih pantas berdandan demikian.
Sengaja kukemas diriku serupa boneka cantik nan modis
agar mereka betah mengikuti mata kuliah yang kuampu, yang bahkan olehku sendiri
terasa sangat membosankan bila dipelajari. Ya, aku mengampu mata kuliah
statistik. Mata kuliah yang bagi sebagian mahasiswa merupakan batu sandungan
lumayan berarti di semester-semester akhir sebelum mereka menempuh penyusunan skipsi
atau tugas akhir. Uji validitas, mean, median, analisis regresi, atau istilah- istilah lain yang berkaitan
dengan angka-angka statis, salah hitung satu saja maka pengaruhnya beruntun.
Namun ada yang aneh, kurasakan ada sedikit yang berubah
dari seleraku beberapa bulan belakangan ini.
***
Kedatangannya yang diawali dengan ketukan pintu seperti
menyihir ruangan kelasku. Atau mungkin aku yang terlalu menganggap berlebihan,
kalau kata anak zaman sekarang, lebay.
Tapi yang jelas, kelasku seketika riuh, ramai sekali deheman mahasiswi dengan
nada sengaja berusaha mencuri perhatiannya. Rupanya dia salah satu security favorit di kampus ini. Ah,
ada-ada saja ulah para mahasiswi itu, sampai security pun tak lepas dari bulan-bulanan mereka untuk iseng
menggoda. Mau tidak mau aku menghentikan proses perkuliahan. Dia masuk ke kelas
sengaja mencariku. Ketika dia mendekat, baru kusadari, ternyata deheman-deheman
iseng tadi memang kuat beralasan. Bagaimana tidak, dari wajahnya, yah...11-12
lah, beda-beda tipis dengan pemeran
video ‘panas’ yang sempat booming se-nusantara dan konon mirip salah
satu artis sekaligus vokalis band papan atas Indonesia itu. Dari body, kira-kira tingginya 180-an cm,
kulitnya bersih. Sekilas kubaca name tag-nya,
tertera Bugimun. “Sungguh, nama yang terkesan sangat tak sesuai untuk makhluk
sesempurna ini,” ujar batinku.
Beberapa detik aku sempat terdiam, tak sadar, dibuat
terkesima, benar-benar terkesima oleh pemandangan elok yang sayang jika
dilewatkan begitu saja. Hingga tiba-tiba,
“Permisi Bu,
mohon maaf mobil Ibu menghalangi mobil dinas pak rektor mau keluar. Mau saya
yang memindahkan atau Ibu sendiri yang memindahkan?” ujarnya kalem, sangat
sopan. “
Oh, eh, iya…ya, bagaimana?” aku tergagap.
“Mobil Ibu menghalangi mobil dinas pak rektor, mau
saya bantu pindahkan, atau Ibu sendiri yang memindahkan?” ulangnya dengan
senyum tipis yang buatku makin mengesankan dia sangat misterius dan pastinya,
menawan. Aku grogi.
Setelah beberapa tahun tanpa teman dekat pria,
seingatku baru sekarang aku kembali dibuat salah tingkah oleh salah satu kaum Adam. Celakanya oleh security di
kampusku pula.
“Ah, perasaan macam apa ini,” batinku.
Segera kuambil kunci mobil dari dalam tas kerjaku. Aku
melangkah santai ke luar ruangan diikuti dia yang tidak berani berjalan
beriringan denganku. Baru ketika hampir mendekati lift, dia mendahuluiku,
mungkin berniat memencet tombol lift dan dengan bahasa tubuh layaknya seorang pria
gentle, dia akan mempersilakanku
masuk mendahuluinya,
“Ah, ngayal kamu, Wid…, gini nih efek kebanyakan
nonton drama Korea,” pikiranku menjadi geli sendiri.
Eh, tapi rupanya memang benar hal itu dilakukannya. Tapi
aku tak kehilangan akal,
“Nggak, saya lebih suka lewat tangga, sambil olahraga.
Lebih sehat, tetap langsing,” ujarku sambil menyunggingkan senyum yang paling
memungkinkan untuk terkesan manis di hadapannya.
Kurasa kali ini aku berspekulasi. Rasanya tak mungkin
dia yang begitu gentle mempersilakan
aku masuk ke lift lebih dahulu akan membiarkanku berjalan menuruni tangga
sendirian. Dari lantai tiga menuju parkiran kampus akan lebih lama jika ditempuh dengan turun
tangga dibanding menggunakan lift. Aku ingin mengulur waktu, memanfaatkan
kesempatan untuk bisa lebih lama bersama. Sebenarnya daripada susah payah turun
tangga bisa saja aku menggunakan lift, atau lebih jauh lagi, sebenarnya bisa
saja sejak tadi kuberikan saja kunci mobilku untuk dipindahkan olehnya. Hmm,
tapi sepertinya ada sedikit gejolak 'nakal' untuk lebih jauh mengenal dia. Hahay,
kenapa aku jadi kecentilan begini ya. Apa bedanya aku dengan mahasiswiku yang
umurnya selisih kira-kira dua puluh tahun di bawahku… Apa aku mulai termasuk
dalam GLU, ‘Gerakan Lupa Umur!’ hmm…entahlah. Yang jelas pancinganku berhasil,
dia kalem menuruni tangga namun tetap mengambil posisi di belakangku.
“Yes!” aku tersenyum kecil. Sembari menuruni anak tangga, aku lirih
bertanya,
“Udah lama jadi security
sini?”
“Bagaimana,
Bu?” sambutnya.
Gerakan tubuhnya yang condong mendekatkan telinga
membuatnya kini sejajar manapaki anak tangga yang sama denganku. Hmm, aku
berhasil lagi membuatnya lebih lama bersamaku dan akhirnya kini lebih dekat
denganku.
“Sudah lama jadi security
sini?” ulangku.
“Oh, ya, Bu, ini masuk tahun ketiga.”
“Kok saya ndak
pernah liat…hmm, Pak…ehmm….”
“Saya Bugimun.”
“Ya, Pokemon,” tandasku berseloroh, berusaha
mencairkan suasana, sedari tadi kukesan dia sangat sopan dan terlalu berhati-hati
ketika berbicara denganku, mungkin dia memang tipikal orang yang benar-benar
menjaga perasaan lawan bicaranya, mungkin juga dia tak ingin terkesan kurang
ajar.
“Bugimun, Bu, bukan Pokemon.”
“Hahaha…ya Bugimun. Oh yah, can I call You, Bugi? Saya memang suka bercanda, biar ndak cepat tua.”
“Ya, Bu, saya sudah sering mendengar dari mahasiswa
kalo Bu Wiwid orangnya asyik.”
“By the way, asyik maksudnya?” ujarku dengan
tatapan menyelidik, pura-pura penasaran.
Rupanya famous
juga namaku di antara karyawan-karyawan kampus ini. Kupikir namaku hanya
beredar di kalangan rekan-rekan dosen dan mahasiswa saja.
Sebenarnya aku tak terlalu terkejut mendengar pernyataan
asyik yang dimaksudnya. Seringkali dari evaluasi proses perkuliahan di akhir semester
dalam catatan-catatan kecil yang terkumpul, beberapa pujian dari mahasiswa
maupun mahasiswi kuterima. Dari pujian yang kurasa wajar sampai tulisan-tulisan
iseng yang bernada sanjungan gombal. Pandanganku yang seolah menyelidik pun
sebenarnya agar aku lebih leluasa menatap wajahnya agar tak terkesan
semata-mata aku ingin melihat lekat-lekat wajahnya dari dekat,
“Oh my dear God,
wajah itu memang benar-benar sempurna!”
“Ya dari cerita mahasiswa yang sering pada nongkrong
di parkiran. Bu Wiwid kalo ngajar ndak boseni trus penampilannya juga ok. Begitu
katanya Bu. Maaf lho, Bu, ini cuma yang saya dengar,” ujarnya dengan logat Jawa
yang amat kental.
“Lho, Sampeyan
ngerti nama saya?” runutku masih dengan nada pura-pura heran.
“Ya ngerti tho, Bu. Ibu kan salah satu dosen favorit
di kampus ini,” tuturnya.
“Hahaha…, ada-ada saja kamu Bugi. Itu bisa-bisanya
mahasiswa. Mereka pikir kalo muji-muji saya nanti nilainya bakal saya kasih
bagus, padahal ya biasa aja. Saya sudah kebal sama yang namanya pujian.”
“Eh, tapi bener kok, Bu, karyawan-karyawan juga pada
heboh kalo pas Ibu lewat. Hanya saja mereka lebih sopan, cuma mengagumi dari
jauh saja.”
“Oh ya? Kamu termasuk dari salah satu yang mengagumi
itu nggak?”
Kulihat dengan ekor mataku dia hanya tersenyum.
“Ealah ditanya malah mesam-mesem, weslah, saya
mindahin mobil dulu.”
Usai memindahkan mobil, aku kembali ke kelasku.
Kulirik, Bugi sudah duduk manis di pos security. Aku bergegas menuju
lift, pegel juga betisku kalau harus naik turun tangga berkali-kali. Begitu aku
masuk lift, masih sempat kulihat Bugi yang rupanya tersenyum dari posnya.
Mungkin dalam pikirannya, “Bu Wiwid kok nggak lewat tangga lagi ya, katanya
lebih sehat. Kok sekarang malah pakai lift,” batinku mencoba menerka pikiran Bugi.
Ketika pintu lift tertutup, mataku memejam, senyumku
mengembang sejadi-jadinya, malah lebih ke arah meringis kegirangan.
“Ya Tuhan, seperti *ABG saja aku ini, padahal usiaku sudah hampir meninggalkan kepala
tiga, hmm….”
Sesampai di kelas, kurasakan kehilangan fokus ketika mengajar.
Kuhampiri jendela ruang kelasku untuk menatap ke bawah, ke arah parkiran. Senyumku
kembali mengembang ketika kudapati sosok Bugi walau hanya terlihat separuh
badan karena terhalang atap pos security.
“Huah, baru separuh saja sudah membuat senang, apalagi
terlihat utuh!” ujar batinku.
Setelah beberapa tahun mengajar di kampus ini, baru
kusadari ternyata selama ini aku kurang mengenal seisi kampus. Bahkan baru kali
ini aku mau menghampiri jendela dan melihat ke luar, itu juga karena ingin melihat
Bugi. Hahay, “Rasa adalah segalanya,” benar juga jargon salah satu produk iklan
itu. Karena rasa penasaran ingin mengenal Bugi lebih jauh, maka aku pun
berjalan menghampiri jendela ini, jendela kampus tempat aku mengajar selama bertahun-tahun,
namun baru kali ini kudatangi. Hmm, dasar rasa yang aneh!
***
Pagi itu sengaja kuparkirkan mobilku lagi-lagi di belakang
area parkir khusus mobil rektor. Seharian kutunggu, tapi Bugi tak kunjung
menghampiri kelas tempat aku mengajar. Aku berharap mobilku kembali menghalangi
mobil rektor untuk keluar dan Bugi akan kembali mencariku untuk meminta
memindahkan mobil.
***
Sepertinya sejak hari itu hobiku bertambah satu. Jika hari-hari
yang lalu aku terlalu dibuat *gandrung wuyung oleh dunia fotografi, maka
semenjak perkenalan tak sengaja dengan Bugi, aku menemukan objek menarik baru
bagi indra penglihatan dan mata batinku. Aku yang sekarang adalah aku yang hobi
melihat ke arah parkiran dari jendela-jendela ruang kuliah yang kebetulan
berada di bangunan paling depan berdekatan dengan parkiran kampus dan pos security
tempat ‘dinas’ Bugi. Ada kalanya dari lantai atas di ruang kelas yang
berbeda dari tempat aku mengajar, pos security hanya terlihat atapnya
saja. Tapi tak mengapa. Kata orang jika sedang jatuh cinta, jangankan melihat
orang yang kita cintai, melihat bubungan atap rumahnya saja rasanya sudah luar
biasa. Ya, sepertinya hal itu kini tengah kualami.
***
Kubiarkan perasaan itu berkembang liar. Semakin hari
semakin menjadi-jadi. Pikirku toh bukan dosa ketika aku kembali merasakan jatuh
cinta. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama kepada sosoknya. Sosoknya yang
secara kasat mata memang sempurna. Sejak hari itu aku selalu berusaha
memenangkan perasaanku meski kadang ratusan pertanyaan dan kekhawatiran silih
berganti menghampiri.
“Apa kira-kira Bugi memikirkanku juga?”
“Apa kira-kira Bugi akan merasa aneh jika satu ketika
aku memulai mengajaknya berkomunikasi lebih intens?”
“Apa kira-kira Bugi merasakan kegelisahan yang sama dengan
yang kurasakan sejak hari dia memintaku memindahkan mobil?”
Ratusan pertanyaan apa kira-kira lain yang kurasa
sungguh wajar bagi orang yang tengah jatuh hati. Kupendam rasa itu dalam-dalam,
namun tak sedikitpun ada keinginan untuk kusingkirkan atau kuutarakan. Aku
sangat menikmati rasa ini. Rasa dimana aku bebas untuk berhalusinasi.
Halusinasi semua tentang sosok Bugi.
***
Kembali kuhampiri jendela kelas kala aku terjebak oleh
kerinduan dan kegusaran akibat kasmaran. Sedangkan untuk memulai, aku tidak
punya keberanian. Apalagi jika kubayangkan bagaimana pandangan orang jika aku
yang secara gender, status sosial, dan pautan usia yang kurasa lumayan jauh
berbeda menyatakan perasaan duluan.
***
Ponselku bergetar. Memang, hampir selalu kuatur
piranti komunikasiku itu di mode getar. Aku tak terlalu suka kebisingan. Sebuah
pesan singkat masuk dari nomor tidak dikenal.
“Selamat malam, Bu.”
Begitu bunyi pesan itu.
Tak kuhiraukan pesan singkat itu. Lagi pula saat pesan
itu kubaca, waktu sudah menunjukkan pukul 22.23 WIB. Waktu yang kurang tepat
untukku membalas pesan singkat terkecuali untuk hal yang benar-benar mendesak. Kupikir
pesan singkat itu mungkin dari mahasiswa yang hendak konsultasi masalah skripsi
atau materi perkuliahan yang sesiang tadi kuajarkan.
Aku beranjak ke peraduan. Membenamkan wajahku di
antara guling dan selimut tebal yang membungkus tubuhku dengan sempurna malam
itu. Tak berapa lama kemudian, aku terlelap.
***
“Bu, Bu Wiwid!” kudengar namaku dipanggil oleh
seseorang ketika aku melewati lobi kampus berjalan menuju ruang dosen.
Ketika aku mengarahkan pandangan ke sumber suara,
kurasa jantungku hampir meledak. Darahku terasa mengalir panas di punggung. Ternyata
yang memanggilku adalah Bugi. Ya Tuhan, pucuk dicinta ulam tiba. Setengah
berlari Bugi menghampiri.
“Ya Bugi, kenapa lari-lari?”
“Bu Wiwid jalannya cepat sekali!”
“Ada apa, mobil saya menghalangi mobil rektor lagi?”
tanyaku sembari tersenyum kecil.
“Oh, ndak ndak, Bu.”
“Lalu ada apa?”
“Mohon maaf saya mengganggu waktu Bu Wiwid.”
“Bugi, ada apa?” ekspresiku seketika berubah menyelidik.
“Nganu, Bu.
Waduh gimana ngomongnya ya, Bu?”
Kudapati kesan tertekan dari wajahnya yang tampan.
“Tenang Bugi. Bicara saja. Atau Bugi mau bicara di
ruang dosen? Hanya saja tentu akan ada dosen lain di ruangan,” tambahku.
“Bu, mohon maaf tadi malam saya ada kirim pesan ke
nomor Ibu,” ujarnya setengah berbisik dan terburu-buru, seolah khawatir
didengar orang lain yang juga lalu-lalang di sepanjang lobi itu.
Kutatap wajahnya lekat-lekat. Aku menangkap keraguan
yang tak dibuat-buat.
“Oh, yang tadi malam menyapa selamat malam itu kamu?”
ujarku.
“Iya, Bu.”
“Baik. I will text you,” segera kutinggal
sosoknya yang mematung di lobi kampus.
***
“Selamat pagi, ini dengan Bugi?”
Tak butuh menunggu lama pesan singkat yang baru saja
kukirim segera berbalas.
“Mohon maaf, Bu. Iya ini saya, Bugi.”
“Ada apa Bugi? Dapat nomor HP saya dari mana?”
“Maaf, Bu, saya sudah lancang. Saya benar-benar mohon
maaf.”
“Tolong dijawab, dapat nomor saya dari mana?”
Sekian menit kutunggu balasan, aku kehilangan
kesabaran. Segera kutekan tombol bersimbol telepon. Aku meneleponnya.
“Halo. Bugi….”
“Bu….”
Lama kutunggu sambungan kalimat suara di seberang sana
namun tak kudapati apa-apa.
“Bugi kenapa?”
“Bu, mohon maaf saya sudah lancang. Saya dapat nomor
Bu Wiwid setelah kemarin saya bertanya pada sekretariat program studi. Saya
bilang saya perlu nomor Bu Wiwid karena ada barang Bu Wiwid yang terjatuh di
area parkiran ketika Ibu pulang setelah selesai mengajar.”
“Maaf, barang apa ya kalau saya boleh tahu?
Rasa-rasanya saya tidak merasa kehilangan barang apapun,” ujarku.
“Maaf Bu, itu hanya akal-akalan saya untuk mendapat
nomor HP Ibu,” tuturnya terkesan sedikit bernada penyesalan.
“Buat apa tahu nomor HP saya Bugi,” sambungku lembut.
Sebenarnya saat di lobi tadi aku dapat sedikit merasa
ada yang istimewa dari caranya menatapku. Entah mengapa, aku begitu bahagia
ditatap seperti itu.
“Bu, saya senang bisa melihat Ibu. Saya senang bisa
bicara pada Ibu siang itu waktu saya ke kelas Ibu. Sudah lama sekali saya ingin
bisa bicara dengan Ibu. Hanya bicara saja sudah membuat saya bahagia. Selama
ini saya hanya bisa melihat Ibu dari kejauhan. Melihat Ibu turun dari mobil dan
melewati pos satpam tanpa melihat ke arah saya saja rasanya saya bahagia sekali,
Bu. Sekarang ini saya kepingin menangis, bahagia rasanya karena bisa bicara
dengan, Ibu,” seolah memuntahkan seluruh isi hatinya selama ini, Bugi bicara
nyaris tanpa henti.
Aku hanya bisa terdiam beberapa saat mendengarkan
pengakuan yang kunilai begitu jujur. Dan jika boleh jujur juga, aku pun
bahagia, Bugi. Tenyata yang kurasakan sama dengan yang kau rasakan. Hanya saja
aku sedikit syok mendengar pengakuan yang kunilai terlampau dini.
“Oke. Terima kasih sudah jujur. Lalu sekarang apa?”
“Tidak apa-apa, Bu. Saya hanya berusaha jujur.
Tersiksa sekali rasanya menahan perasaan. Saya harus tahu diri,” sambungnya.
“Ya… ya…. Saya bisa memahami. Sekali lagi terima kasih
sudah jujur. Hanya mohon maaf, kita belum bisa melanjutkan obrolan ini. Saya
harus masuk kelas untuk mengajar,” ujarku mengakhiri pembicaraan.
Sebenarnya aku juga masih sangat ingin berbincang
lebih lama dengannya. Mendengar ungkapan hatinya yang kurasa membuat pipiku
merona sejurus setelah pengakuannya.
Tapi apa boleh buat, aku harus memilih yang lebih prioritas, aku harus
menunaikan tugas.
Sepanjang mengajar pikiranku tak tenang. Usai
kusampaikan materi dan tugas perkuliahan, kembali kuhampiri jendela kelas. Aku
melihat ke arah pos security. Lagi-lagi sosoknya hanya terlihat sekilas.
Cukuplah pemandangan itu menenangkan hatiku.
***
Menjelang sore aku beranjak dari meja kerja di ruang
dosen. Berjalan menuju parkiran dan kali ini kurasa aku kehilangan ketenangan. Jantungku
berdegup kencang. Melewati pos security sempat kulirik sosok Bugi
sembari tersenyum simpul. Ya Tuhan, dia menyambut senyumku dengan balasan
senyum dan sebuah anggukan kecil. Ah, betapa menawannya wajah itu.
Kumasuki mobil dan segera kuraih ponselku. Aku
meneleponnya.
“Halo Bugi.”
“Halo, Bu.”
“Bugi kerja sampai pukul berapa?”
“Saya di kampus sampai pukul lima sore, Bu.”
“Sekarang hampir pukul empat. Satu jam lagi saya
tunggu di Kafe Nocturno ya. Tahu kan lokasinya dimana?”
“Tahu, Bu. Tapi apakah Ibu tidak malu saya temui?
Apalagi saya masih berseragam satpam. Saya bisa memakai jaket saya sih, Bu.
Tapi nanti kalau saya agak bau kecut karena seharian bekerja apa Ibu tidak
keberatan?”
“Hahaha…. Bugi, kamu itu lucu sekali. Ya tidak
apa-apa. Saya juga sudah seharian bekerja, pasti sudah tidak wangi lagi,”
ujarku sembari tertawa dan berusaha menenangkan perasaannya.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.16 WIB. Aku
menunggunya dengan kegusaran yang tidak main-main. Berulang kali aku
mematut-matutkan riasan wajahku melalui kaca kecil yang selalu ada di dompet
kosmetikku. Menambahkan bedak dan lipstik agar tetap terlihat cantik. Aku
benar-benar merasakan kasmaran. *Aku tak pernah keberatan menungu siapa pun,
berapa lama pun selama aku mencintainya. Pikirku mungkin Bugi masih harus
menunggu rekan security lain untuk pergantian shift jaga. Buatku
menunggu adalah hal biasa. Hanya bedanya jika di lain kesempatan aku menunggu
kehadiran seseorang dengan perasaan santai, namun tidak untuk kali ini. Cukup
gelisah aku menunggu kehadiran Bugi.
Pukul 17.27 WIB. Kutatap sosok tegap itu mendekat ke
arahku. Jangan ditanya soal bagaimana perasaanku saat itu. Kurasakan lidahku
kelu. Aku seperti baru saja kehilangan jutaan kosa kata dalam pikiranku. Hingga
kini sosok itu benar-benar berada di hadapanku. Aku berdiri dan
mempersilakannya duduk di hadapanku.
“Hai…,” ujarku membuka obrolan. Dia yang kusapa tak
sedikitpun bisa berkata-kata.
“Kok diem aja. Tadi pas ditelepon ngomongnya lancar,”
sambungku menggoda sekaligus berusaha menenangkan hatiku yang juga berdebar tak
terkira.
“Hmmm…. Iya, Bu.”
“Haha…. Bugi, kalau di kampus boleh panggil saya Ibu,
tapi di luar rasanya tak perlu. Bisa panggil nama saja, Wiwid,” sambungku.
“Ya, tapi nanti saya tidak sopan, Bu.”
“Mana lebih tidak sopan, memanggil nama saja setelah
saya mengizinkan, atau mengirimkan chat kepada saya tengah malam?” ujarku
berusaha mencairkan suasana. Bugi menatapku lekat-lekat, seolah tak ingin
kehilangan sedetik pun kesempatan bisa menikmati waktu dan kebersamaan.
“Oke Bugi. Sekarang saya mau bertanya, dan tolong
jawab sejujur-jujurnya. Apa benar yang Bugi ungkapkan tadi pagi dalam
pembicaraan di telepon?”
Dia yang kutanya tak mampu menjawab. Dia hanya
menatapku lebih cermat.
“Jawab Bugi! Saya sedang menunggu jawaban dari seorang
laki-laki yang tanpa dia sadari juga sudah membuat saya jatuh hati!”
Mendengar kalimat yang barusan melucur dari mulutku,
mata Bugi tampak sangat berbinar. Senyum di bibirnya mekar sejadi-jadinya.
Namun tak berapa lama kudapati matanya berkaca-kaca.
“Bugi kenapa? Bugi tidak suka?” tanyaku.
“Tidak, Bu.”
“Hah, tidak suka?”
“Bukan begitu, Bu, eh Wi...wid,” ujarnya yang terkesan ragu-ragu mengeja namaku.
Dua jam lebih kami bercengkerama. Berbicara tentang
perasaan yang masing-masing kami rasa. Menurut pengakuannya, dia telah
menyimpan perasaan terhadapku sejak hari pertama dia mulai bekerja di kampus.
Saat itu dia terkesan ketika melihatku turun dari mobil dan berjalan
tergesa-gesa ke arah lobi kampus.
***
Sejak pembicaraan di Kafe Nocturno, bisa disimpulkan
kami berkomunikasi lebih intens. Panggilan kami pun sudah berubah, menjadi
lebih intim, yang awalnya saya kini menjadi aku dan kamu. Sejak itu pula kami
resmi menjalin hubungan. Sebuah hubungan yang sama sekali tidak pernah mempersoalkan perbedaan
usia dan latar belakang sosial yang seolah menjadi dinding penghalang bagi sebagian
orang. Namun belum ada keberanian kami untuk menunjukkan kebersamaan di hadapan
khalayak ramai. Kami belum siap menghadapi berbagai ‘vonis hakim-hakim kecil’
di lingkungan yang pasti muncul dan terkadang malah melampaui interpretasi kami
yang menjalani hubungan ini.
Setahun lebih bersamanya yang kurasakan adalah
hari-hari yang penuh kebahagiaan. Sosoknya yang lembut dan sopan, begitu pandai
memperlakukan perempuan membuatnya menjadi semakin menawan. Aku juga tak
keberatan jika suatu ketika dia serius memintaku untuk untuk menjadi pendamping
hidupnya dalam mengarungi kehidupan. Toh perempuan seusiaku memang sudah
saatnya terikat dalam pernikahan.
***
“Bugi, sudah satu tahun lebih kita bersama. Apa
tak terlintas sedikit pun untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius?” Aku
membuka obrolan malam itu di ruang tamu rumahku.
Dia yang kuajak bicara bergeming. Selintas tampak kerisauan
dari raut wajahnya yang biasa teduh. Tak berapa lama, dia angkat bicara,
“Aku laki-laki, Wid. Laki-laki dituntut untuk
bertanggung jawab atas hidup pasangannya. Pernikahan juga perlu modal, bukan
hanya asal sah saja. Bagaimana dengan keluargamu, bisakah keluargamu menerimaku
yang hanya seorang satpam yang tentu tidak memungkinkanku membiayai sebuah
pernikahan impian?” rentetan kalimat realistis itu keluar dari mulutnya. Kini
giliran aku yang bungkam.
“Wid, bolehkan aku meminta waktu lebih untuk menabung
sekuat tenaga supaya pernikahan kita nanti akan lebih layak?” sambungnya.
“Bugi, umurku terus berjalan. Dua tahun lagi aku sudah
berumur 40. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama. Memangnya berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk menabung? Kenapa tidak menggunakan simpanan uangku saja
untuk pernikahan kita. Toh yang tahu masalah ini hanya kita berdua. Aku tidak
akan bicara pada siapapun tentang biaya pernikahan yang bersumber dari uangku,”
balasku setengah berteriak sembari mulai terisak.
“Aku laki-laki. Dimana harga diriku, Wid? Dan apakah
pernikahan buatmu hanya lantaran umurmu yang sudah mendekati 40?”
Terbelalak mataku mendengar jawaban itu. Tak pernah
kusangka dia memendam pemikiran sekaligus ketidakpercayaan terhadap rasa cinta
yang kupunya.
“Kamu egois! Kamu hanya berpikir soal harga dirimu.
Kamu ndak mikir soal umurku! Perempuan di atas 40 sudah bakalan susah punya
keturunan! Apa itu juga sudah kamu pikirkan!” ungkapku penuh kemarahan.
Duaaarrr…. Kubanting pintu kamarku. Kubiarkan Bugi
seorang diri di ruang tamu. Tak berapa lama kudengar ketukan di pintu kamarku.
Bugi mencoba membujukku keluar kamar dan mungkin saja mengajak meneruskan
obrolan. Aku diam, bergeming saja di tempat tidurku. Air mataku semakin deras
mengalir. Beberapa saat kemudian kudengar suara motornya menjauh dari rumahku.
Bugi memilih pulang.
***
Terduduk lesu dengan mata sembab. Di sampingku
gundukan tanah basah bertabur bunga dan pandan. Aku menekur, memeluk erat-erat salib
yang tertancap di gundukan tanah itu bertulisakan namanya. RIP Stephanus Bugimun.
Lahir, 16 April 1996, wafat, 12 Oktober 2021.
Habis sudah kekuatanku. Aku memetik buah dari
ketidaksabaranku. Bugi meninggal dunia karena kecelakaan saat meninggalkan
rumahku menuju pulang di malam yang kami habiskan dalam pertengkaran. Sebuah
malam yang akan kusesali di sisa hidupku, di sepanjang usiaku.
***
Aku beranjak menuju jendela kelas tempatku mengajar.
Mataku tertuju pada pos security di halaman parkiran. Anganku melayang,
memutar jutaan kenangan indah yang setahun lebih silam sempat kureguk
bersamanya. Bayangan senyum teduhnya melintas begitu rupa. Namun tak kudapati
lagi tubuhnya yang biasa terlihat walau hanya setengah dan terbiasa kutatap
dari seribu jendela.
Catatan Kaki
* Cerpen pernah dimuat dalam Buku Antologi Cerpen Nocturno (Kisah Perjalanan Panjang Malam-malam Katresnan Ing Kasunyatan)
*ABG kependekan dari Anak Baru Gede
*gandrung wuyung: berasal dari bahasa
Sansekerta yang jamak digunakan oleh masyarakat Jawa dan Sunda yang berarti
jatuh cinta.
*Aku tak pernah keberatan menungu siapa pun, berapa lama pun selama aku mencintainya. (Ditulis dengan ingatan pada sebuah petikan kalimat dalam cerpen Linguae karya Seno Gumira Ajidarma)