tentang kisah dan jejak langkah

Test foto 1

Foto sementara

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

Sabtu, 07 Oktober 2023

JELAJAH WAKTU, SINGKAWANG 'TEMPO DOELOE'

 


Kemudian atas nama rindu, kutelusuri bayangan pada cerita yang pernah menggiringku menyusuri sudut-sudut kota itu. Di antara Pecinan tua bangunan serta gereja bergaya Belanda, kuil-kuil bersahaja dengan semarak aroma dupa yang mesra bertetangga dengan Masjid Raya. Ingatkah Kau tentang Menara PDAM Kota kita yang menjulang Gemilang serta kokoh melegenda. Taman Burung yang sudah ditinggalkan seluruh penghuninya, hingga keruhnya sungai yang tetap setia dan mesra membelah jantung kota. Bukankah setiap langkah dari kaki sanggup membawa pergi ke tempat manapun yang kita ingini, tapi bagaimana halnya dengan hati yang terlanjur tertinggal di kota ini? Masih atas nama rindu, karena jika kau mencintai sesuatu setiap kali bayangannya sirna dan berlalu kau akan kehilangan sebagian dari dirimu.

 

Apa yang istimewa dari sebuah kota selain eksotisme budayanya,  selain  denyar  keramahan penduduknya, selain cita rasa kuliner khasnya yang pantang enyah karena terlanjur lengket di lidah. Tak lain tak bukan jawabannya berkisar pada kenangan. Sebuah sejarah berlabel berlabel kenangan menjadi sesuatu yang mutlak tak tertawar dan mangkus menyita sebagian besar memori hidup setiap manusia. Keberadaan suatu kota yang sanggup melestarikan cagar budayanya seolah menjadi jawaban untuk menaungi kenangan masa silam setiap orang yang sempat terlibat secara emosional.

 

Artikel kali ini akan memanjakan mata dan ingatan pembaca dengan mengajak bernostalgia menjelajah waktu kembali ke masa lalu. Menelusuri sudut-sudut kota Amoy yang dari sumber utama yakni arsip foto-foto dari Pastor Yeremias Melis, OFM.Cap (Pastor Yerry), kearsipan Perpustakaan Daerah Singkawang, maupun dari berbagai sumber gambar-gambar pengingat masa lalu yang terserak itu berhasil didapatkan. Foto-foto yang didapat dari Pastor Yerry bersumber dari buku yang beliau miliki. Tidak lupa di beberapa objek foto terdahulu yang masih dapat ditelusuri keberadaannya disertakan juga sebagai pembanding sekaligus sebagai pemutar kenangan masa silam.



Masjid Raya


Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi Singkawang (kiri 1935, kanan 2023)


Rumah Sakit St. Vincentius Tampak dari Atas (dulu dan kini)



Vihara Tri Dharma Bumi Raya



Bioskop Kota Indah (Kiri 1955, Kanan 2023)


Gereja Katolik St. Fransiskus Assisi Singkawang (kiri tahun 1924-1925, kanan tahun 2023)


Gereja Katolik St. Fransiskus Assisi Singkawang (kiri tahun 1926, kanan tahun 2023)



Kapel di Rumah Sakit Kusta Alverno Singkawang (Kiri 1906-1914, Kanan 2023)


Susteran di Komplek Rumah Sakit Kusta Alverno Singkawang
Tampak Depan (Kiri 1956, Kanan 2023)



Susteran di Komplek Rumah Sakit Kusta Alverno Singkawang
(tampak serong samping)





Komplek Bangunan Sekolah SMP Bruder Singkawang Versi Dulu dan Versi Kekinian (2023)


Jalan P. Diponegoro Persis di Depan Bruderan Versi Dulu dan Versi Kekinian (2023)


Komplek Susteran di Jalan P. Diponegoro Versi Dulu dan Versi Kekinian (2023)


Jalan Budi Utomo Singkawang Versi Dulu dan Versi Kekinian


Depan Hotel Rusen (Dulu) Sekarang Rusen Kopi Tiam


Menara PDAM Dulu dan Versi Kekinian



Aliran Sungai Singkawang di Area yang Kini Bernama Taman Burung


Hidup ini penuh warna jika dalam ingatan, kita berhasil merekam begitu banyak kenangan. Hidup ini sarat arti jika kita menilainya dari sudut pandang hati. Hidup ini indah jika kita sanggup menertawakan segala keluh kesah tanpa melupakan sejarah. Kita seringkali terus-menerus melihat keluar namun lupa menengok ke dalam diri karena menganggap terlalu hambar. Kita berulang kali lebih peduli dengan sejarah sesuatu yang asing dan justru abai pada kisah bumi kelahiran yang sebenarnya sanggup menjadi pembanding. Kita acap kali sukses menancapkan cerita tentang tanah seberang di dalam kepala, sementara kisah tanah tempat berpijak kita seolah dimaklumkan untuk terlupa.

 

Sejarah kita bukan produk karbitan. Ia lahir karena tempaan zaman. Jika dapat bertahan di tengah perubahan adalah sesuatu yang mengagumkan dan pasti penuh dengan perjuangan. Dinamika kehidupan menghasilkan transformasi budaya. Dapatkah dipertahankan, setidaknya bisakah kita menjaganya tetap utuh dalam kotak-kotak bernama ingatan, yang pada akhirnya akan kita abaikan dalam sesuatu yang kita sebut sebagai kenangan. Karena apa yang kita anggap sebagai kenangan sejarah masa silam demikian pula halnya akan dianggapkan oleh anak cucu kita saat memandang wajah kita di masa depan. Ya, kita juga adalah cikal bakal sejarah yang mungkin saja abadi dan lestari dalam kenangan atau bahkan lindap dari ingatan masa depan.



NB: Artikel pernah dimuat di media pewartaan, Buletin Likes Paroki Singkawang pada Tarikh 2015 dan diunggah di website Paroki Singkawang pada September 2015. Kini diunggah ulang di blog pribadi penulis artikel dengan beberapa penyesuaian.


Share:

Rabu, 04 Oktober 2023

SERIBU JENDELA

 


(Image By Google)


Lima tahun terakhir orang-orang sekitar atau yang kutemui selalu mengagumi, minimal berkomentar positif atas aroma Kenzo L’eau Pour Femme yang rutin kusemprotkan atas tubuhku. Para mahasiswa yang kuampu mata kuliahnya pun tak jarang memuji pilihan busana yang konon membuatku selalu menarik di hadapan mereka. Ya, aku merupakan pengoleksi busana lumayan bermerk yang kupercaya mampu menunjukkan ‘kelas’ bagi pemakainya. Potongan rambut yang kutata model bob sekuping dan kukelir hitam menambah kesan fresh untuk penampilan perempuan seusiaku. Lagipula bentuk rahangku yang kecil mengesankan aku masih tetap muda dan masih pantas berdandan demikian.

Sengaja kukemas diriku serupa boneka cantik nan modis agar mereka betah mengikuti mata kuliah yang kuampu, yang bahkan olehku sendiri terasa sangat membosankan bila dipelajari. Ya, aku mengampu mata kuliah statistik. Mata kuliah yang bagi sebagian mahasiswa merupakan batu sandungan lumayan berarti di semester-semester akhir sebelum mereka menempuh penyusunan skipsi atau tugas akhir. Uji validitas, mean, median, analisis regresi,  atau istilah- istilah lain yang berkaitan dengan angka-angka statis, salah hitung satu saja maka pengaruhnya beruntun.

Namun ada yang aneh, kurasakan ada sedikit yang berubah dari seleraku beberapa bulan belakangan ini.

                                                                        ***

Kedatangannya yang diawali dengan ketukan pintu seperti menyihir ruangan kelasku. Atau mungkin aku yang terlalu menganggap berlebihan, kalau kata anak zaman sekarang, lebay. Tapi yang jelas, kelasku seketika riuh, ramai sekali deheman mahasiswi dengan nada sengaja berusaha mencuri perhatiannya. Rupanya dia salah satu security favorit di kampus ini. Ah, ada-ada saja ulah para mahasiswi itu, sampai security pun tak lepas dari bulan-bulanan mereka untuk iseng menggoda. Mau tidak mau aku menghentikan proses perkuliahan. Dia masuk ke kelas sengaja mencariku. Ketika dia mendekat, baru kusadari, ternyata deheman-deheman iseng tadi memang kuat beralasan. Bagaimana tidak, dari wajahnya, yah...11-12 lah, beda-beda tipis  dengan pemeran video ‘panas’ yang sempat booming se-nusantara dan konon mirip salah satu artis sekaligus vokalis band papan atas Indonesia itu. Dari body, kira-kira tingginya 180-an cm, kulitnya bersih. Sekilas kubaca name tag-nya, tertera Bugimun. “Sungguh, nama yang terkesan sangat tak sesuai untuk makhluk sesempurna ini,” ujar batinku.

Beberapa detik aku sempat terdiam, tak sadar, dibuat terkesima, benar-benar terkesima oleh pemandangan elok yang sayang jika dilewatkan begitu saja. Hingga tiba-tiba,

 “Permisi Bu, mohon maaf mobil Ibu menghalangi mobil dinas pak rektor mau keluar. Mau saya yang memindahkan atau Ibu sendiri yang memindahkan?” ujarnya kalem, sangat sopan. “

Oh, eh, iya…ya, bagaimana?” aku tergagap.

“Mobil Ibu menghalangi mobil dinas pak rektor, mau saya bantu pindahkan, atau Ibu sendiri yang memindahkan?” ulangnya dengan senyum tipis yang buatku makin mengesankan dia sangat misterius dan pastinya, menawan. Aku grogi.

Setelah beberapa tahun tanpa teman dekat pria, seingatku baru sekarang aku kembali dibuat salah tingkah oleh salah satu kaum Adam. Celakanya oleh security di kampusku pula.

“Ah, perasaan macam apa ini,” batinku.

Segera kuambil kunci mobil dari dalam tas kerjaku. Aku melangkah santai ke luar ruangan diikuti dia yang tidak berani berjalan beriringan denganku. Baru ketika hampir mendekati lift, dia mendahuluiku, mungkin berniat memencet tombol lift dan dengan bahasa tubuh layaknya seorang pria gentle, dia akan mempersilakanku masuk mendahuluinya,

“Ah, ngayal kamu, Wid…, gini nih efek kebanyakan nonton drama Korea,” pikiranku menjadi geli sendiri.

Eh, tapi rupanya memang benar hal itu dilakukannya. Tapi aku tak kehilangan akal,

“Nggak, saya lebih suka lewat tangga, sambil olahraga. Lebih sehat, tetap langsing,” ujarku sambil menyunggingkan senyum yang paling memungkinkan untuk terkesan manis di hadapannya.

Kurasa kali ini aku berspekulasi. Rasanya tak mungkin dia yang begitu gentle mempersilakan aku masuk ke lift lebih dahulu akan membiarkanku berjalan menuruni tangga sendirian. Dari lantai tiga menuju parkiran kampus  akan lebih lama jika ditempuh dengan turun tangga dibanding menggunakan lift. Aku ingin mengulur waktu, memanfaatkan kesempatan untuk bisa lebih lama bersama. Sebenarnya daripada susah payah turun tangga bisa saja aku menggunakan lift, atau lebih jauh lagi, sebenarnya bisa saja sejak tadi kuberikan saja kunci mobilku untuk dipindahkan olehnya. Hmm, tapi sepertinya ada sedikit gejolak 'nakal' untuk lebih jauh mengenal dia. Hahay, kenapa aku jadi kecentilan begini ya. Apa bedanya aku dengan mahasiswiku yang umurnya selisih kira-kira dua puluh tahun di bawahku… Apa aku mulai termasuk dalam GLU, ‘Gerakan Lupa Umur!’ hmm…entahlah. Yang jelas pancinganku berhasil, dia kalem menuruni tangga namun tetap mengambil posisi di belakangku.

Yes!” aku tersenyum kecil.  Sembari menuruni anak tangga, aku lirih bertanya,

“Udah lama jadi security sini?”

 “Bagaimana, Bu?” sambutnya.

Gerakan tubuhnya yang condong mendekatkan telinga membuatnya kini sejajar manapaki anak tangga yang sama denganku. Hmm, aku berhasil lagi membuatnya lebih lama bersamaku dan akhirnya kini lebih dekat denganku.

“Sudah lama jadi security sini?” ulangku.

“Oh, ya, Bu, ini masuk tahun ketiga.”

 “Kok saya ndak pernah liat…hmm, Pak…ehmm….”

 “Saya Bugimun.”

“Ya, Pokemon,” tandasku berseloroh, berusaha mencairkan suasana, sedari tadi kukesan dia sangat sopan dan terlalu berhati-hati ketika berbicara denganku, mungkin dia memang tipikal orang yang benar-benar menjaga perasaan lawan bicaranya, mungkin juga dia tak ingin terkesan kurang ajar.

“Bugimun, Bu, bukan Pokemon.”

“Hahaha…ya Bugimun. Oh yah, can I call You, Bugi? Saya memang suka bercanda, biar ndak cepat tua.”

“Ya, Bu, saya sudah sering mendengar dari mahasiswa kalo Bu Wiwid orangnya asyik.”

By the way, asyik maksudnya?” ujarku dengan tatapan menyelidik, pura-pura penasaran.

Rupanya famous juga namaku di antara karyawan-karyawan kampus ini. Kupikir namaku hanya beredar di kalangan rekan-rekan dosen dan mahasiswa saja. 

Sebenarnya aku tak terlalu terkejut mendengar pernyataan asyik yang dimaksudnya. Seringkali dari evaluasi proses perkuliahan di akhir semester dalam catatan-catatan kecil yang terkumpul, beberapa pujian dari mahasiswa maupun mahasiswi kuterima. Dari pujian yang kurasa wajar sampai tulisan-tulisan iseng yang bernada sanjungan gombal. Pandanganku yang seolah menyelidik pun sebenarnya agar aku lebih leluasa menatap wajahnya agar tak terkesan semata-mata aku ingin melihat lekat-lekat wajahnya dari dekat,

Oh my dear God, wajah itu memang benar-benar sempurna!”

“Ya dari cerita mahasiswa yang sering pada nongkrong di parkiran. Bu Wiwid kalo ngajar ndak boseni trus penampilannya juga ok. Begitu katanya Bu. Maaf lho, Bu, ini cuma yang saya dengar,” ujarnya dengan logat Jawa yang amat kental.

“Lho, Sampeyan ngerti nama saya?” runutku masih dengan nada pura-pura heran.

“Ya ngerti tho, Bu. Ibu kan salah satu dosen favorit di kampus ini,” tuturnya.

“Hahaha…, ada-ada saja kamu Bugi. Itu bisa-bisanya mahasiswa. Mereka pikir kalo muji-muji saya nanti nilainya bakal saya kasih bagus, padahal ya biasa aja. Saya sudah kebal sama yang namanya pujian.”

“Eh, tapi bener kok, Bu, karyawan-karyawan juga pada heboh kalo pas Ibu lewat. Hanya saja mereka lebih sopan, cuma mengagumi dari jauh saja.”

“Oh ya? Kamu termasuk dari salah satu yang mengagumi itu nggak?”

Kulihat dengan ekor mataku dia hanya tersenyum.

Ealah ditanya malah mesam-mesem, weslah, saya mindahin mobil dulu.”

Usai memindahkan mobil, aku kembali ke kelasku. Kulirik, Bugi sudah duduk manis di pos security. Aku bergegas menuju lift, pegel juga betisku kalau harus naik turun tangga berkali-kali. Begitu aku masuk lift, masih sempat kulihat Bugi yang rupanya tersenyum dari posnya. Mungkin dalam pikirannya, “Bu Wiwid kok nggak lewat tangga lagi ya, katanya lebih sehat. Kok sekarang malah pakai lift,” batinku mencoba menerka pikiran Bugi.

Ketika pintu lift tertutup, mataku memejam, senyumku mengembang sejadi-jadinya, malah lebih ke arah meringis kegirangan.

“Ya Tuhan, seperti *ABG saja aku ini, padahal usiaku sudah hampir meninggalkan kepala tiga, hmm….”

Sesampai di kelas, kurasakan kehilangan fokus ketika mengajar. Kuhampiri jendela ruang kelasku untuk menatap ke bawah, ke arah parkiran. Senyumku kembali mengembang ketika kudapati sosok Bugi walau hanya terlihat separuh badan karena terhalang atap pos security.

“Huah, baru separuh saja sudah membuat senang, apalagi terlihat utuh!” ujar batinku.  

Setelah beberapa tahun mengajar di kampus ini, baru kusadari ternyata selama ini aku kurang mengenal seisi kampus. Bahkan baru kali ini aku mau menghampiri jendela dan melihat ke luar, itu juga karena ingin melihat Bugi. Hahay, “Rasa adalah segalanya,” benar juga jargon salah satu produk iklan itu. Karena rasa penasaran ingin mengenal Bugi lebih jauh, maka aku pun berjalan menghampiri jendela ini, jendela kampus tempat aku mengajar selama bertahun-tahun, namun baru kali ini kudatangi. Hmm, dasar rasa yang aneh!

                                                                        ***

Pagi itu sengaja kuparkirkan mobilku lagi-lagi di belakang area parkir khusus mobil rektor. Seharian kutunggu, tapi Bugi tak kunjung menghampiri kelas tempat aku mengajar. Aku berharap mobilku kembali menghalangi mobil rektor untuk keluar dan Bugi akan kembali mencariku untuk meminta memindahkan mobil.

***

Sepertinya sejak hari itu hobiku bertambah satu. Jika hari-hari yang lalu aku terlalu dibuat *gandrung wuyung oleh dunia fotografi, maka semenjak perkenalan tak sengaja dengan Bugi, aku menemukan objek menarik baru bagi indra penglihatan dan mata batinku. Aku yang sekarang adalah aku yang hobi melihat ke arah parkiran dari jendela-jendela ruang kuliah yang kebetulan berada di bangunan paling depan berdekatan dengan parkiran kampus dan pos security tempat ‘dinas’ Bugi. Ada kalanya dari lantai atas di ruang kelas yang berbeda dari tempat aku mengajar, pos security hanya terlihat atapnya saja. Tapi tak mengapa. Kata orang jika sedang jatuh cinta, jangankan melihat orang yang kita cintai, melihat bubungan atap rumahnya saja rasanya sudah luar biasa. Ya, sepertinya hal itu kini tengah kualami.

***

Kubiarkan perasaan itu berkembang liar. Semakin hari semakin menjadi-jadi. Pikirku toh bukan dosa ketika aku kembali merasakan jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama kepada sosoknya. Sosoknya yang secara kasat mata memang sempurna. Sejak hari itu aku selalu berusaha memenangkan perasaanku meski kadang ratusan pertanyaan dan kekhawatiran silih berganti menghampiri.

“Apa kira-kira Bugi memikirkanku juga?”

“Apa kira-kira Bugi akan merasa aneh jika satu ketika aku memulai mengajaknya berkomunikasi lebih intens?”

“Apa kira-kira Bugi merasakan kegelisahan yang sama dengan yang kurasakan sejak hari dia memintaku memindahkan mobil?”

Ratusan pertanyaan apa kira-kira lain yang kurasa sungguh wajar bagi orang yang tengah jatuh hati. Kupendam rasa itu dalam-dalam, namun tak sedikitpun ada keinginan untuk kusingkirkan atau kuutarakan. Aku sangat menikmati rasa ini. Rasa dimana aku bebas untuk berhalusinasi. Halusinasi semua tentang sosok Bugi.

***

Kembali kuhampiri jendela kelas kala aku terjebak oleh kerinduan dan kegusaran akibat kasmaran. Sedangkan untuk memulai, aku tidak punya keberanian. Apalagi jika kubayangkan bagaimana pandangan orang jika aku yang secara gender, status sosial, dan pautan usia yang kurasa lumayan jauh berbeda menyatakan perasaan duluan.

***

Ponselku bergetar. Memang, hampir selalu kuatur piranti komunikasiku itu di mode getar. Aku tak terlalu suka kebisingan. Sebuah pesan singkat masuk dari nomor tidak dikenal.

“Selamat malam, Bu.”

Begitu bunyi pesan itu.

Tak kuhiraukan pesan singkat itu. Lagi pula saat pesan itu kubaca, waktu sudah menunjukkan pukul 22.23 WIB. Waktu yang kurang tepat untukku membalas pesan singkat terkecuali untuk hal yang benar-benar mendesak. Kupikir pesan singkat itu mungkin dari mahasiswa yang hendak konsultasi masalah skripsi atau materi perkuliahan yang sesiang tadi kuajarkan.

Aku beranjak ke peraduan. Membenamkan wajahku di antara guling dan selimut tebal yang membungkus tubuhku dengan sempurna malam itu. Tak berapa lama kemudian, aku terlelap.

***

“Bu, Bu Wiwid!” kudengar namaku dipanggil oleh seseorang ketika aku melewati lobi kampus berjalan menuju ruang dosen.

Ketika aku mengarahkan pandangan ke sumber suara, kurasa jantungku hampir meledak. Darahku terasa mengalir panas di punggung. Ternyata yang memanggilku adalah Bugi. Ya Tuhan, pucuk dicinta ulam tiba. Setengah berlari Bugi menghampiri.

“Ya Bugi, kenapa lari-lari?”

“Bu Wiwid jalannya cepat sekali!”

“Ada apa, mobil saya menghalangi mobil rektor lagi?” tanyaku sembari tersenyum kecil.

“Oh, ndak ndak, Bu.”

“Lalu ada apa?”

“Mohon maaf saya mengganggu waktu Bu Wiwid.”

“Bugi, ada apa?” ekspresiku seketika berubah menyelidik.

 Nganu, Bu. Waduh gimana ngomongnya ya, Bu?”

Kudapati kesan tertekan dari wajahnya yang tampan.

“Tenang Bugi. Bicara saja. Atau Bugi mau bicara di ruang dosen? Hanya saja tentu akan ada dosen lain di ruangan,” tambahku.

“Bu, mohon maaf tadi malam saya ada kirim pesan ke nomor Ibu,” ujarnya setengah berbisik dan terburu-buru, seolah khawatir didengar orang lain yang juga lalu-lalang di sepanjang lobi itu.

Kutatap wajahnya lekat-lekat. Aku menangkap keraguan yang tak dibuat-buat.

“Oh, yang tadi malam menyapa selamat malam itu kamu?” ujarku.

“Iya, Bu.”

“Baik. I will text you,” segera kutinggal sosoknya yang mematung di lobi kampus.

***

“Selamat pagi, ini dengan Bugi?”

Tak butuh menunggu lama pesan singkat yang baru saja kukirim segera berbalas.

“Mohon maaf, Bu. Iya ini saya, Bugi.”

“Ada apa Bugi? Dapat nomor HP saya dari mana?”

“Maaf, Bu, saya sudah lancang. Saya benar-benar mohon maaf.”

“Tolong dijawab, dapat nomor saya dari mana?”

Sekian menit kutunggu balasan, aku kehilangan kesabaran. Segera kutekan tombol bersimbol telepon. Aku meneleponnya.

“Halo. Bugi….”

“Bu….”

Lama kutunggu sambungan kalimat suara di seberang sana namun tak kudapati apa-apa.

“Bugi kenapa?”

“Bu, mohon maaf saya sudah lancang. Saya dapat nomor Bu Wiwid setelah kemarin saya bertanya pada sekretariat program studi. Saya bilang saya perlu nomor Bu Wiwid karena ada barang Bu Wiwid yang terjatuh di area parkiran ketika Ibu pulang setelah selesai mengajar.”

“Maaf, barang apa ya kalau saya boleh tahu? Rasa-rasanya saya tidak merasa kehilangan barang apapun,” ujarku.

“Maaf Bu, itu hanya akal-akalan saya untuk mendapat nomor HP Ibu,” tuturnya terkesan sedikit bernada penyesalan.

“Buat apa tahu nomor HP saya Bugi,” sambungku lembut.

Sebenarnya saat di lobi tadi aku dapat sedikit merasa ada yang istimewa dari caranya menatapku. Entah mengapa, aku begitu bahagia ditatap seperti itu.

“Bu, saya senang bisa melihat Ibu. Saya senang bisa bicara pada Ibu siang itu waktu saya ke kelas Ibu. Sudah lama sekali saya ingin bisa bicara dengan Ibu. Hanya bicara saja sudah membuat saya bahagia. Selama ini saya hanya bisa melihat Ibu dari kejauhan. Melihat Ibu turun dari mobil dan melewati pos satpam tanpa melihat ke arah saya saja rasanya saya bahagia sekali, Bu. Sekarang ini saya kepingin menangis, bahagia rasanya karena bisa bicara dengan, Ibu,” seolah memuntahkan seluruh isi hatinya selama ini, Bugi bicara nyaris tanpa henti.

Aku hanya bisa terdiam beberapa saat mendengarkan pengakuan yang kunilai begitu jujur. Dan jika boleh jujur juga, aku pun bahagia, Bugi. Tenyata yang kurasakan sama dengan yang kau rasakan. Hanya saja aku sedikit syok mendengar pengakuan yang kunilai terlampau dini.

“Oke. Terima kasih sudah jujur. Lalu sekarang apa?”

“Tidak apa-apa, Bu. Saya hanya berusaha jujur. Tersiksa sekali rasanya menahan perasaan. Saya harus tahu diri,” sambungnya.

“Ya… ya…. Saya bisa memahami. Sekali lagi terima kasih sudah jujur. Hanya mohon maaf, kita belum bisa melanjutkan obrolan ini. Saya harus masuk kelas untuk mengajar,” ujarku mengakhiri pembicaraan.

Sebenarnya aku juga masih sangat ingin berbincang lebih lama dengannya. Mendengar ungkapan hatinya yang kurasa membuat pipiku merona sejurus setelah pengakuannya.  Tapi apa boleh buat, aku harus memilih yang lebih prioritas, aku harus menunaikan tugas.

Sepanjang mengajar pikiranku tak tenang. Usai kusampaikan materi dan tugas perkuliahan, kembali kuhampiri jendela kelas. Aku melihat ke arah pos security. Lagi-lagi sosoknya hanya terlihat sekilas. Cukuplah pemandangan itu menenangkan hatiku.

***

Menjelang sore aku beranjak dari meja kerja di ruang dosen. Berjalan menuju parkiran dan kali ini kurasa aku kehilangan ketenangan. Jantungku berdegup kencang. Melewati pos security sempat kulirik sosok Bugi sembari tersenyum simpul. Ya Tuhan, dia menyambut senyumku dengan balasan senyum dan sebuah anggukan kecil. Ah, betapa menawannya wajah itu.

Kumasuki mobil dan segera kuraih ponselku. Aku meneleponnya.

“Halo Bugi.”

“Halo, Bu.”

“Bugi kerja sampai pukul berapa?”

“Saya di kampus sampai pukul lima sore, Bu.”

“Sekarang hampir pukul empat. Satu jam lagi saya tunggu di Kafe Nocturno ya. Tahu kan lokasinya dimana?”

“Tahu, Bu. Tapi apakah Ibu tidak malu saya temui? Apalagi saya masih berseragam satpam. Saya bisa memakai jaket saya sih, Bu. Tapi nanti kalau saya agak bau kecut karena seharian bekerja apa Ibu tidak keberatan?”

“Hahaha…. Bugi, kamu itu lucu sekali. Ya tidak apa-apa. Saya juga sudah seharian bekerja, pasti sudah tidak wangi lagi,” ujarku sembari tertawa dan berusaha menenangkan perasaannya.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.16 WIB. Aku menunggunya dengan kegusaran yang tidak main-main. Berulang kali aku mematut-matutkan riasan wajahku melalui kaca kecil yang selalu ada di dompet kosmetikku. Menambahkan bedak dan lipstik agar tetap terlihat cantik. Aku benar-benar merasakan kasmaran. *Aku tak pernah keberatan menungu siapa pun, berapa lama pun selama aku mencintainya. Pikirku mungkin Bugi masih harus menunggu rekan security lain untuk pergantian shift jaga. Buatku menunggu adalah hal biasa. Hanya bedanya jika di lain kesempatan aku menunggu kehadiran seseorang dengan perasaan santai, namun tidak untuk kali ini. Cukup gelisah aku menunggu kehadiran Bugi.

Pukul 17.27 WIB. Kutatap sosok tegap itu mendekat ke arahku. Jangan ditanya soal bagaimana perasaanku saat itu. Kurasakan lidahku kelu. Aku seperti baru saja kehilangan jutaan kosa kata dalam pikiranku. Hingga kini sosok itu benar-benar berada di hadapanku. Aku berdiri dan mempersilakannya duduk di hadapanku.

“Hai…,” ujarku membuka obrolan. Dia yang kusapa tak sedikitpun bisa berkata-kata.

“Kok diem aja. Tadi pas ditelepon ngomongnya lancar,” sambungku menggoda sekaligus berusaha menenangkan hatiku yang juga berdebar tak terkira.

“Hmmm…. Iya, Bu.”

“Haha…. Bugi, kalau di kampus boleh panggil saya Ibu, tapi di luar rasanya tak perlu. Bisa panggil nama saja, Wiwid,” sambungku.

“Ya, tapi nanti saya tidak sopan, Bu.”

“Mana lebih tidak sopan, memanggil nama saja setelah saya mengizinkan, atau mengirimkan chat kepada saya tengah malam?” ujarku berusaha mencairkan suasana. Bugi menatapku lekat-lekat, seolah tak ingin kehilangan sedetik pun kesempatan bisa menikmati waktu dan kebersamaan.

“Oke Bugi. Sekarang saya mau bertanya, dan tolong jawab sejujur-jujurnya. Apa benar yang Bugi ungkapkan tadi pagi dalam pembicaraan di telepon?”

Dia yang kutanya tak mampu menjawab. Dia hanya menatapku lebih cermat.

“Jawab Bugi! Saya sedang menunggu jawaban dari seorang laki-laki yang tanpa dia sadari juga sudah membuat saya jatuh hati!”

Mendengar kalimat yang barusan melucur dari mulutku, mata Bugi tampak sangat berbinar. Senyum di bibirnya mekar sejadi-jadinya. Namun tak berapa lama kudapati matanya berkaca-kaca.

“Bugi kenapa? Bugi tidak suka?” tanyaku.

“Tidak, Bu.”

“Hah, tidak suka?”

“Bukan begitu, Bu, eh Wi...wid,” ujarnya yang terkesan  ragu-ragu mengeja namaku.

Dua jam lebih kami bercengkerama. Berbicara tentang perasaan yang masing-masing kami rasa. Menurut pengakuannya, dia telah menyimpan perasaan terhadapku sejak hari pertama dia mulai bekerja di kampus. Saat itu dia terkesan ketika melihatku turun dari mobil dan berjalan tergesa-gesa ke arah lobi kampus.

***

Sejak pembicaraan di Kafe Nocturno, bisa disimpulkan kami berkomunikasi lebih intens. Panggilan kami pun sudah berubah, menjadi lebih intim, yang awalnya saya kini menjadi aku dan kamu. Sejak itu pula kami resmi menjalin hubungan. Sebuah hubungan yang sama sekali tidak pernah mempersoalkan perbedaan usia dan latar belakang sosial yang seolah menjadi dinding penghalang bagi sebagian orang. Namun belum ada keberanian kami untuk menunjukkan kebersamaan di hadapan khalayak ramai. Kami belum siap menghadapi berbagai ‘vonis hakim-hakim kecil’ di lingkungan yang pasti muncul dan terkadang malah melampaui interpretasi kami yang menjalani hubungan ini.

Setahun lebih bersamanya yang kurasakan adalah hari-hari yang penuh kebahagiaan. Sosoknya yang lembut dan sopan, begitu pandai memperlakukan perempuan membuatnya menjadi semakin menawan. Aku juga tak keberatan jika suatu ketika dia serius memintaku untuk untuk menjadi pendamping hidupnya dalam mengarungi kehidupan. Toh perempuan seusiaku memang sudah saatnya terikat dalam pernikahan.

***

“Bugi, sudah satu tahun lebih kita bersama. Apa tak terlintas sedikit pun untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius?” Aku membuka obrolan malam itu di ruang tamu rumahku.

Dia yang kuajak bicara bergeming. Selintas tampak kerisauan dari raut wajahnya yang biasa teduh. Tak berapa lama, dia angkat bicara,

“Aku laki-laki, Wid. Laki-laki dituntut untuk bertanggung jawab atas hidup pasangannya. Pernikahan juga perlu modal, bukan hanya asal sah saja. Bagaimana dengan keluargamu, bisakah keluargamu menerimaku yang hanya seorang satpam yang tentu tidak memungkinkanku membiayai sebuah pernikahan impian?” rentetan kalimat realistis itu keluar dari mulutnya. Kini giliran aku yang bungkam.

“Wid, bolehkan aku meminta waktu lebih untuk menabung sekuat tenaga supaya pernikahan kita nanti akan lebih layak?” sambungnya.

“Bugi, umurku terus berjalan. Dua tahun lagi aku sudah berumur 40. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama. Memangnya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menabung? Kenapa tidak menggunakan simpanan uangku saja untuk pernikahan kita. Toh yang tahu masalah ini hanya kita berdua. Aku tidak akan bicara pada siapapun tentang biaya pernikahan yang bersumber dari uangku,” balasku setengah berteriak sembari mulai terisak.

“Aku laki-laki. Dimana harga diriku, Wid? Dan apakah pernikahan buatmu hanya lantaran umurmu yang sudah mendekati 40?”

Terbelalak mataku mendengar jawaban itu. Tak pernah kusangka dia memendam pemikiran sekaligus ketidakpercayaan terhadap rasa cinta yang kupunya.

“Kamu egois! Kamu hanya berpikir soal harga dirimu. Kamu ndak mikir soal umurku! Perempuan di atas 40 sudah bakalan susah punya keturunan! Apa itu juga sudah kamu pikirkan!” ungkapku  penuh kemarahan.

Duaaarrr…. Kubanting pintu kamarku. Kubiarkan Bugi seorang diri di ruang tamu. Tak berapa lama kudengar ketukan di pintu kamarku. Bugi mencoba membujukku keluar kamar dan mungkin saja mengajak meneruskan obrolan. Aku diam, bergeming saja di tempat tidurku. Air mataku semakin deras mengalir. Beberapa saat kemudian kudengar suara motornya menjauh dari rumahku. Bugi memilih pulang.

***

Terduduk lesu dengan mata sembab. Di sampingku gundukan tanah basah bertabur bunga dan pandan. Aku menekur, memeluk erat-erat salib yang tertancap di gundukan tanah itu bertulisakan namanya. RIP Stephanus Bugimun. Lahir, 16 April 1996, wafat, 12 Oktober 2021.

Habis sudah kekuatanku. Aku memetik buah dari ketidaksabaranku. Bugi meninggal dunia karena kecelakaan saat meninggalkan rumahku menuju pulang di malam yang kami habiskan dalam pertengkaran. Sebuah malam yang akan kusesali di sisa hidupku, di sepanjang usiaku.

***

Aku beranjak menuju jendela kelas tempatku mengajar. Mataku tertuju pada pos security di halaman parkiran. Anganku melayang, memutar jutaan kenangan indah yang setahun lebih silam sempat kureguk bersamanya. Bayangan senyum teduhnya melintas begitu rupa. Namun tak kudapati lagi tubuhnya yang biasa terlihat walau hanya setengah dan terbiasa kutatap dari seribu jendela.

 

 

Catatan Kaki

* Cerpen pernah dimuat dalam Buku Antologi Cerpen Nocturno (Kisah Perjalanan Panjang Malam-malam Katresnan Ing Kasunyatan)

*ABG kependekan dari Anak Baru Gede

*gandrung wuyung: berasal dari bahasa Sansekerta yang jamak digunakan oleh masyarakat Jawa dan Sunda yang berarti jatuh cinta.

*Aku tak pernah keberatan menungu siapa pun, berapa lama pun selama aku mencintainya. (Ditulis dengan ingatan pada sebuah petikan kalimat dalam cerpen Linguae karya Seno Gumira Ajidarma)

  

Share:

Statistik Kunjungan

Arsip Blog

Recent Posts

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *